Di tanah yang pernah berdiri megah Kesultanan Aceh Darussalam, sejarah mencatat ribuan kisah perjuangan, darah yang tumpah, dan doa-doa panjang dari para ulama serta panglima perang. Mereka bukan hanya pejuang gagah berani, tapi penjaga nilai, martabat, dan marwah Aceh. Di bawah panji bendera Alam Peudeung, Aceh pernah jadi satu suara, satu langkah, satu tekad: merdeka dalam prinsip, teguh dalam syariat, dan adil dalam kekuasaan.
Kini, saat kita bicara soal persatuan Aceh — pesan-pesan para pendahulu itu justru tenggelam di antara riuh suara elite politik, proyek-proyek kekuasaan, dan pragmatisme modern. Padahal, kalau kita benar-benar mau Aceh bersatu kembali, dengarkan baik-baik pesan dari panglima perang dan ulama besar Aceh dulu.
Pesan Panglima Perang: Jangan Khianati Tanah Leluhur
Panglima-panglima perang Aceh seperti Laksamana Malahayati, Teuku Umar, dan Cut Nyak Dhien pernah berpesan, bahwa tanah Aceh bukan milik segelintir orang, melainkan amanah generasi. Mereka rela mati di medan perang, bukan untuk memperkaya diri, apalagi memecah rakyat dengan politik adu domba.
Hari ini, ketika kekuasaan di Aceh justru dijadikan alat balas dendam politik dan perebutan proyek, pesan itu seakan diabaikan. Panglima dulu tidak pernah tanya berapa fee proyek atau berapa kursi yang didapat. Yang mereka tanya: “Apa manfaatnya untuk rakyat?”
Kalau Aceh ingin kembali bersatu, buang jauh-jauh mental dagang kursi. Tinggalkan budaya “kelompok saya lebih Aceh daripada kelompokmu.” Karena, di hadapan para pejuang itu, yang penting bukan asal usulmu, tapi keberanianmu membela rakyat dan menjaga martabat Aceh.
Pesan Ulama Aceh: Aceh Akan Hancur Bila Ulama Diam dan Pemimpin Zalim
Ulama-ulama besar Aceh seperti Syekh Abdurrauf Singkil, Tgk Chik di Tiro, hingga Tgk Haji Muhammad Waly al-Khalidy (Tgk Habibie Waly) berulang kali meninggalkan pesan bahwa kekuatan Aceh ada pada ulama dan pemimpin yang bersih. Bila keduanya bersatu, Aceh jaya. Tapi bila ulama diam demi selamat jabatan, dan pemimpin zalim berkuasa tanpa kontrol, maka kehancuran tinggal menunggu waktu.
Hari ini, Aceh mengalami hal itu. Banyak ulama sibuk dengan urusan birokrasi, sebagian menjadi alat kekuasaan. Padahal dulu, ulama Aceh berdiri di depan, menegur pemimpin lalim, dan membela hak rakyat tertindas.
Bila Aceh ingin kembali bersatu, ulama harus kembali ke posisinya sebagai penjaga moral umat dan pemimpin harus berhenti mempermainkan agama untuk kepentingan politik.
Aceh Terpecah Karena Lupa Akar
Konflik internal, perpecahan elite, dan ketegangan antar wilayah di Aceh saat ini bukan semata soal politik, tapi soal lupa akar sejarah. Kita sibuk memperdebatkan siapa paling pejuang, siapa paling Aceh, siapa paling syahid — tapi lupa bahwa para leluhur itu tidak pernah bertanya: “Asalmu dari mana?” Mereka bertanya: “Apa yang kau lakukan untuk tanah ini?”
Bila ingin Aceh bersatu, bangkitkan kembali nilai “Peumulia Jamee, Peugleh Droeneuh” (memuliakan tamu, menjaga saudara). Hilangkan mental pengkhianat yang menjual tanah adat, menggadaikan kepentingan rakyat demi jabatan.
Kita harus kembali membaca manuskrip-manuskrip tua Aceh, petuah ulama besar, dan sumpah para panglima perang. Di sana tersimpan pedoman bagaimana Aceh bisa bersatu, menang, dan dihormati dunia.
Dengarkan Suara Para Leluhur
Sejarah bukan sekadar nostalgia, tapi peta arah. Aceh pernah jaya bukan karena uang proyek atau kursi legislatif, tapi karena keberanian para ulama dan panglima perang yang menyatukan rakyat di bawah panji kebenaran. Mereka tak takut mati, tak tunduk pada penguasa zalim, dan tak pernah khianat pada sumpah rakyat.
Hari ini, kalau Aceh benar-benar ingin bersatu kembali, dengarkan baik-baik pesan mereka. Bukan sekadar dalam upacara adat atau zikir.
#Azhari