Oleh: Azhari
Era digital telah mengubah wajah dunia secara drastis. Apa yang dahulu mustahil kini menjadi lumrah. Jarak yang jauh terasa dekat, kabar yang dulu harus ditunggu berhari-hari kini hadir dalam hitungan detik. Dunia seolah mengecil dalam genggaman tangan. Namun, di balik segala kemudahan itu, umat manusia—khususnya umat Islam—diuji dengan tantangan baru yang tak kalah berat dari zaman penjajahan, perang, atau kelaparan. Kali ini, musuh itu tidak kasat mata: informasi yang menyesatkan, moralitas yang memudar, dan nilai-nilai agama yang perlahan terpinggirkan.
Digitalisasi: Anugerah atau Bencana?
Teknologi digital pada dasarnya adalah alat. Ia bisa menjadi jalan kebaikan, namun juga bisa menjelma menjadi petaka tergantung siapa yang mengendalikannya. Dunia maya hari ini dipenuhi oleh dua wajah: wajah yang menawarkan ilmu pengetahuan, peluang ekonomi, dan jalinan silaturahmi tanpa batas; dan wajah lain yang menampilkan fitnah, kebohongan, hasutan, hingga pornografi.
Umat kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, digitalisasi membawa manfaat luar biasa: dakwah lebih luas, akses kitab-kitab kuning atau ilmu agama klasik bisa didapatkan lewat aplikasi, bahkan ulama di pelosok bisa berdiskusi dengan cendekiawan dunia tanpa perlu keluar negeri. Tapi di sisi lain, fitnah digital, hoaks agama, dan kultus figur tak berdasar justru berkembang pesat.
Petaka terbesar adalah ketika umat tidak lagi mampu memilah mana ilmu, mana ilusi. Mana yang benar, mana yang hanya narasi. Ketika dalil dipotong-potong sesuai kepentingan, ketika hadis diambil hanya untuk mendukung kepentingan politik sesaat, atau ketika agama dijadikan komoditas jualan di media sosial demi popularitas.
Perilaku Umat yang Mulai Bergeser
Di era digital ini, umat tak hanya mengalami perubahan cara berpikir, tetapi juga pola perilaku. Dahulu orang belajar kepada guru secara langsung, bertanya dengan penuh adab, mendengarkan dengan khidmat, dan menulis catatan penuh kesungguhan. Kini, cukup dengan sekali klik, umat merasa telah menjadi pakar agama. Tak sedikit yang hanya bermodalkan potongan video pendek atau status media sosial lalu berani berfatwa, menyesatkan sesama, bahkan memvonis kafir, bid’ah, atau munafik kepada orang yang berbeda pandangan.
Lebih berbahaya lagi, era digital mendorong budaya instan. Semua ingin serba cepat. Tanpa proses, tanpa sanad keilmuan yang jelas. Padahal dalam Islam, ilmu adalah cahaya yang harus didapatkan dengan adab, bukan sekadar mencari informasi di mesin pencari. Akhirnya lahirlah generasi yang rajin berdebat di kolom komentar, namun malas beramal di kehidupan nyata.
Petaka itu makin nyata saat media sosial dijadikan arena adu domba, fitnah, dan adu gengsi. Banyak yang rela menggadaikan harga diri, bahkan menyebarkan aib saudara sesama Muslim demi konten viral. Islam yang sejatinya mengajarkan menutup aib justru dibalik menjadi ajang konsumsi publik.
Dakwah yang Terkapar, Hiburan yang Merajalela
Dahulu, masjid dan majelis taklim adalah pusat peradaban. Kini, algoritma media sosial lebih berkuasa menentukan apa yang akan viral di tengah umat. Konten dakwah sering kali tenggelam oleh tren hiburan murahan, candaan tanpa batas, bahkan konten-konten maksiat yang dikemas dengan menarik.
Ulama pun kini dihadapkan pada dilema: mengikuti tren atau ditinggalkan umat? Sebagian mencoba masuk ke dunia digital dengan tetap menjaga marwah dakwah, namun tak sedikit pula yang terjebak dalam jebakan popularitas. Akibatnya, umat kehilangan rujukan yang jelas. Ulama seleb lebih sering didengar ketimbang guru-guru bijak yang istiqamah.
Bahaya Individualisme dan Krisis Ukhuwah
Petaka lain di era digital adalah meningkatnya individualisme. Media sosial menjadikan manusia sibuk dengan dunianya sendiri. Ukhuwah Islamiyah yang dahulu menjadi fondasi kekuatan umat perlahan luntur. Silaturahmi tak lagi tulus, sering kali hanya formalitas lewat pesan instan. Banyak yang lebih peduli dengan jumlah followers ketimbang jumlah saudara yang bisa diajak berbagi di dunia nyata.
Di tengah gemuruh digital ini, umat kehilangan ruh kebersamaan. Padahal Rasulullah SAW telah mewanti-wanti bahwa kekuatan umat terletak pada persatuan, bukan jumlah. Saat umat sibuk menyerang sesama di ruang digital, musuh nyata justru leluasa menyusup, mengendalikan opini, dan menyebar nilai-nilai liberalisme, sekularisme, bahkan ateisme tanpa disadari.
Penutup: Membangun Kesadaran Baru
Era digital memang tak bisa dihindari, tetapi umat harus membangun kesadaran baru. Bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tujuan. Islam tak pernah anti kemajuan, justru mendorong umatnya menjadi yang terdepan dalam ilmu pengetahuan. Tapi kemajuan tanpa moral, tanpa akhlak, dan tanpa nilai agama akan menjadi petaka.
Sudah saatnya umat memperkuat literasi digital berbasis nilai Islam. Majelis ilmu harus kembali dihidupkan, tidak hanya di ruang fisik tetapi juga di dunia maya. Dakwah harus cerdas memanfaatkan media, tanpa kehilangan ruhnya. Umat harus diajak kembali kepada adab dalam berilmu, bermuamalah, dan berdakwah.
Mari kita ajak generasi muda berhenti menjadi korban algoritma, dan mulai menjadi pengendali arah peradaban digital. Sebab jika tidak, petaka yang hari ini baru sebatas gejala akan berubah menjadi musibah besar yang melumpuhkan umat dari dalam.
Karena musuh kita hari ini bukan lagi sekadar penjajahan fisik, tapi penjajahan pikiran dan akhlak lewat layar yang selalu kita genggam.