Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Kembalikan Aceh, Untuk Merdeka

Minggu, 15 Juni 2025 | 02:16 WIB Last Updated 2025-06-14T19:17:06Z


“Aceh itu bukan sekadar tanah. Aceh adalah harga diri, sejarah darah dan airmata, dan tanah warisan syuhada yang tak boleh disia-siakan.”


Sejarah panjang Aceh adalah kisah tentang keberanian dan kehormatan. Negeri ini pernah berdiri sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara, menjalin hubungan diplomatik langsung dengan Turki Utsmani, Inggris, dan Arab. Aceh bukan anak bawang dalam sejarah Nusantara. Ia pernah menjadi negeri merdeka yang diakui dunia.

Namun perjalanan bangsa ini dipenuhi luka. Dari perjanjian Korte Verklaring, agresi Belanda, hingga akhirnya pengintegrasian Aceh ke dalam Republik Indonesia pada 1949 tanpa persetujuan menyeluruh rakyat Aceh, semuanya menyisakan luka sejarah yang belum benar-benar sembuh.

Lalu datanglah konflik berkepanjangan yang menghitamkan sejarah Aceh selama hampir tiga dekade. Ribuan nyawa melayang, ratusan kampung terbakar, anak-anak kehilangan orang tua, dan bumi Aceh dipenuhi darah bangsanya sendiri. Itu semua berpangkal pada satu kata: keadilan.

Bukan Sekadar Perang, Tapi Perlawanan atas Ketidakadilan

Perjuangan Aceh bukan sekadar tentang keinginan berpisah dari Indonesia. Itu tentang harga diri, tentang tanah yang dijarah, sumber daya alam yang dikuras habis, dan janji-janji politik yang diingkari.

Bila negara ini berlaku adil, maka konflik tak perlu terjadi. Bila hak Aceh sebagai daerah istimewa benar-benar dihormati, tak akan lahir pemberontakan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: otonomi hanya di atas kertas, kekayaan alam terus mengalir keluar, sementara rakyat Aceh tetap miskin di tanahnya sendiri.

Aceh hanya mendapatkan serpihan sisa dari hasil bumi yang mereka lahirkan. Migas, hasil laut, hutan, emas, semuanya dikirim keluar, meninggalkan kampung-kampung miskin dan pengangguran di tanah syuhada ini.

MoU Helsinki: Janji yang Mulai Diingkari

Ketika MoU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005, rakyat Aceh berharap itu menjadi lembaran baru. Aceh dijanjikan pemerintahan sendiri yang bermartabat melalui Qanun, UUPA, bendera, lambang, hingga pengelolaan sumber daya alam secara mandiri.

Namun faktanya, banyak amanah perjanjian itu mandek di tangan pusat. Revisi UUPA yang dijanjikan tak kunjung selesai. Bendera dan lambang Aceh masih dianggap simbol separatis. Dana Otsus dikurangi, bahkan ada upaya senyap dari pusat untuk memangkasnya lebih jauh.

Seolah-olah Jakarta ingin agar Aceh tetap miskin, tetap bergantung, dan tetap tunduk. Padahal Aceh tidak miskin. Aceh dipaksa miskin.

Kembalikan Aceh, Untuk Merdeka

Maka hari ini, sudah saatnya kita bersuara lantang: kembalikan Aceh! Bukan sekadar kedaulatan teritorial, tapi kembalikan hak-hak Aceh secara utuh, sesuai janji yang pernah disepakati. Kalau tak mampu menunaikan janji itu, beri kebebasan Aceh untuk menentukan jalannya sendiri.

Aceh tidak minta lebih. Aceh hanya minta yang menjadi haknya. Kalau pun harus merdeka, itu bukan karena ingin memecah Indonesia, tapi karena Indonesia gagal menjaga Aceh sebagai bagian terhormat dari republik ini.

Aceh hanya ingin hidup layak di tanahnya sendiri, mengatur negerinya sendiri, menjaga adatnya sendiri, dan menikmati hasil buminya sendiri. Tanpa perlu dicampuri, diatur, atau dikendalikan oleh Jakarta.

Merdeka di sini bukan semata berdiri jadi negara, tapi berdiri tegak sebagai bangsa Aceh yang dihormati, yang punya hak penuh atas bumi warisan syuhada ini.

Bangkitlah, Anak Aceh

Kini saatnya pemuda-pemudi Aceh bangkit. Jangan diam dalam ketakutan, jangan tunduk dalam ancaman, dan jangan terjebak dalam politik uang. Rakyat Aceh harus kembali ke jalan juangnya, melalui cara-cara terhormat dan beradab.

Lakukan perlawanan intelektual, kuasai ruang digital, susun kekuatan politik lokal, rebut kembali kursi-kursi penting pemerintahan daerah, dorong revisi UUPA, kawal MoU Helsinki agar benar-benar dijalankan. Jika semua itu tak juga mampu, maka wajar jika suara merdeka kembali menggema.

Karena bangsa yang terus diinjak tanpa perlawanan, hanyalah budak di tanahnya sendiri.

Akhirnya…

Jika hari ini Jakarta tak mau dengar suara Aceh, besok sejarah yang akan mencatat. Rakyat Aceh pernah bersabar, tapi ketika batasnya habis, maka tak ada kekuatan manapun yang bisa membendung amarah orang Aceh yang berjuang demi kehormatan dan haknya.

Kembalikan Aceh, untuk Merdeka.


[Nama Anda]
azhari