Setiap kontestasi politik pasti menyisakan cerita. Ada yang menang, ada yang kalah, ada yang kecewa, ada yang puas, dan ada pula yang memilih diam. Namun yang paling menentukan arah sebuah pemerintahan ke depan bukan semata hasil pemilihan, melainkan bagaimana komunikasi politik dibangun setelah itu.
Di level daerah, seorang bupati yang baru terpilih bukan hanya mewarisi jabatan, tapi juga dinamika sosial politik yang masih hangat. Sebab dalam setiap pilkada, tidak hanya program yang dipertarungkan, tapi juga ego, harga diri, relasi sosial, bahkan silaturrahmi antar keluarga dan kelompok masyarakat.
Oleh sebab itu, komunikasi politik pasca-kemenangan bukan sekadar soal sopan santun, melainkan bagian dari etika kekuasaan dan etika sesama bangsa. Dua dimensi yang bila diabaikan, hanya akan memperlebar luka sosial politik di tengah masyarakat.
Etika Kekuasaan: Menang Bukan Berarti Bebas Mengabaikan
Seorang pemimpin yang baik memahami bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat balas dendam. Komunikasi politik pasca kemenangan semestinya dibangun dengan merangkul, bukan menyudutkan. Tidak cukup dengan pidato seremonial yang menyatakan “kemenangan ini kemenangan rakyat”, tetapi harus diwujudkan dalam sikap nyata, komunikasi aktif, dan keterbukaan politik kepada semua pihak, termasuk mereka yang kemarin menjadi rival.
Mengabaikan paslon yang kalah dan tim sukses lawan adalah bentuk kepicikan politik. Sebab dalam demokrasi, keberadaan oposisi adalah bagian dari keseimbangan kekuasaan. Merangkul mereka, minimal dalam dialog, bukan hanya soal kesantunan, tapi strategi untuk meredam gesekan horizontal yang bisa mengganggu stabilitas sosial di daerah.
Seorang bupati yang matang harus bisa memposisikan diri bukan lagi sebagai kontestan, tetapi sebagai ayah bagi semua anak-anak daerah, terlepas siapa yang dulu memilih atau tidak memilihnya.
Etika Sesama Bangsa: Demokrasi Bukan Ajang Permusuhan Abadi
Dalam perspektif etika kebangsaan, rivalitas politik tidak boleh diwariskan menjadi dendam sosial. Kita adalah sesama anak bangsa yang hidup dalam satu wilayah, berbagi udara, jalan, pasar, masjid, dan sekolah yang sama. Pilkada boleh selesai, tapi kehidupan bermasyarakat terus berjalan.
Karena itu, penting bagi seorang pemimpin daerah untuk menginisiasi silaturrahmi politik pasca pilkada. Bukan basa-basi, tapi pertemuan yang tulus untuk menyatukan kembali simpul-simpul sosial yang sempat renggang. Mengajak paslon kalah untuk duduk bersama, mendengar kritik, bahkan mungkin menawarkan ruang kontribusi di luar jabatan politik, adalah langkah bijak seorang negarawan.
Etika sesama bangsa mengajarkan kita bahwa persaudaraan lebih utama dari sekadar gengsi politik. Sebab luka akibat pilkada tak jarang berujung permusuhan keluarga, pecahnya komunitas, bahkan retaknya kerukunan kampung. Bila pemimpin daerah tidak bijak, residu politik ini bisa memicu konflik sosial laten.
Penutup: Politik Itu Seni Merangkul
Kemenangan politik itu biasa. Tapi kemenangan hati rakyat adalah prestasi sesungguhnya. Seorang bupati yang mampu menjalin komunikasi dengan paslon kalah dan tim sukses lawan, bukan saja menunjukkan kedewasaan politiknya, tapi juga mempertegas jati dirinya sebagai pemimpin rakyat, bukan hanya pemimpin kelompok.
Karena politik sejatinya bukan tentang mengalahkan, tapi tentang membangun dan merawat peradaban bersama. Dan di tanah yang sama, kita tetap harus hidup berdampingan, saling menjaga, dan menyapa.
Sebagaimana pepatah Aceh berkata:
"Kalah ta jak hana leumoh, lam droe ka do sagoe"
(Kalah bukan berarti kehilangan, masih ada harga diri yang harus dijaga)
Maka biarlah etika politik dan etika kebangsaan menjadi warisan peradaban, agar kita tidak kehilangan adab dalam berpolitik.
-