Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Tidur yang Dirindukan di Muzdalifah: Saat Semua Derajat Luruh di Hadapan-Nya

Jumat, 06 Juni 2025 | 00:38 WIB Last Updated 2025-06-05T17:38:48Z

Di antara sekian banyak peristiwa agung dalam rangkaian ibadah haji, ada satu momen yang begitu sederhana namun meninggalkan jejak mendalam di hati setiap insan yang mengalaminya: malam di Muzdalifah. Tidur beralaskan bumi, beratapkan langit, beralaskan doa-doa yang melambung tanpa sekat sosial, tanpa batas pangkat, tanpa pembeda strata. Itulah tidur yang dirindukan. Tidur yang tak bisa dibeli, tak bisa digantikan, dan tak dapat dirasakan kecuali oleh jiwa-jiwa yang Allah panggil menjadi tamu-Nya.

Di malam itu, tidak ada istana megah, tidak ada kamar hotel berbintang, tidak ada kursi empuk, tidak ada selimut mahal. Orang kaya dan orang miskin menutup tanah dengan tubuhnya yang lelah. Mereka menyandarkan diri kepada bumi yang sama, di bawah langit yang sama, dalam dekapan rahmat yang sama. Malam di mana segala perbedaan duniawi luruh di hadapan Sang Pencipta. Malam ketika tubuh-tubuh terlelap dalam debu, tapi hati-hati terjaga penuh cinta dan harap.

Di Muzdalifah, manusia menemukan dirinya sendiri. Bukan sebagai orang kaya atau miskin, bukan sebagai pejabat atau rakyat jelata, bukan sebagai ulama atau orang awam. Tapi sebagai seorang hamba — seorang insan fana yang hanya membawa bekal amal dan dosa, berharap pengampunan dari Sang Maha Pengampun. Tidak ada gengsi di sana, tidak ada protokol, tidak ada fasilitas eksklusif. Semuanya hanyalah manusia. Hanya itu.

Di atas hamparan tanah itu, manusia-manusia dari segala penjuru dunia berkumpul. Menghamparkan tubuh yang letih, sambil menengadahkan hati yang pasrah. Ada yang menangis dalam diam, ada yang melantunkan istighfar, ada yang bermunajat lirih. Gelantaran kain ihram putih menyelimuti tanah Muzdalifah laksana permadani cahaya. Momen langka, saat jutaan orang berkumpul bukan untuk konser, bukan untuk pesta, tapi untuk berserah sepenuhnya pada-Nya.

Tidur itu dirindukan. Bukan karena kemewahannya, tapi karena kesahajaannya. Bukan karena kenikmatan duniawi, tapi karena ketenangan batin yang tak bisa ditukar dengan apapun. Tidur yang menjadi saksi betapa kecilnya manusia di hadapan kebesaran-Nya. Tidur yang tak hanya melepaskan lelah, tapi juga menenangkan jiwa yang haus akan rahmat dan ampunan-Nya.

Maka tidak heran jika malam di Muzdalifah menjadi momen yang ditangisi oleh mereka yang pernah merasakannya, dan didambakan oleh mereka yang belum mendapatkannya. Sebab di sanalah manusia benar-benar merasakan hakikat dirinya. Betapa selama ini kita terlalu sibuk mengejar status, harta, jabatan, sampai lupa bahwa di hadapan Allah, kita semua sama: hanya hamba.

Ya Allah, panggil kami menjadi tamu-Mu. Berikan kami kesempatan untuk menyaksikan malam di Muzdalifah, untuk menitikkan air mata dalam sujud panjang, untuk merasakan tidur yang tak pernah bisa dibeli. Agar kami bisa pulang dengan jiwa yang lebih bersih, hati yang lebih tenang, dan hidup yang lebih bermakna.

Karena di sana, semua derajat luruh. Yang tersisa hanyalah cinta seorang hamba pada Tuhannya.

Penulis Azhari 
?