Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Oknum Timses: Antara Harapan dan Tatapan di Hari Meugang

Rabu, 04 Juni 2025 | 18:13 WIB Last Updated 2025-06-04T11:16:47Z






Hari meugang di Aceh selalu punya cerita. Bukan sekadar tentang daging yang dibeli dan dimasak menjelang lebaran, tapi juga tentang tatapan-tatapan yang menyimpan harapan, kecewa, dan kadang luka. Di antara hiruk pikuk pasar, asap-asap dapur, dan bau kari meugang yang semerbak, ada wajah-wajah lama yang dulu lantang bersuara saat kampanye. Oknum timses yang kini hanya bisa menatap penuh harap di sudut-sudut perayaan.

Dulu Berteriak, Kini Terdiam

Musim politik memang aneh. Saat panas-panasnya, banyak yang rela jadi juru bicara, tukang teriak, bahkan perisai kandidat. Mereka berjibaku, menggadaikan waktu, pikiran, bahkan harga diri demi memenangkan orang yang dijagokan. Timses-timses musiman yang bermunculan dadakan, merapat ke siapa saja yang berpotensi menang.

Tapi setelah kemenangan diraih, panggung sudah berubah.
Yang dulunya saudara seiring sejalan, kini hanya jadi penonton dari jauh. Di hari meugang, ketika para pejabat, elit, dan orang dekat kekuasaan membagi daging, tak semua oknum timses mendapatkan bagian. Sebagian besar hanya bisa menatap — berharap sisa atau sekadar janji yang tinggal jadi debu.

Tatapan yang Menyimpan Luka

Di meja-meja makan, ada yang tertawa lepas. Ada pula yang sekadar meneguk air sambil mengenang jasa-jasanya dulu. Tatapan-tatapan kosong itu lebih pedih dari daging meugang yang tak kebagian. Sebab yang diharapkan bukan sekadar sepotong daging, tapi pengakuan bahwa mereka pernah berjuang. Pernah berdiri paling depan saat orang lain takut.

Tapi begitulah politik oportunis, saat menang yang diingat hanya yang punya modal, sementara yang bersuara lantang kemarin, hilang dalam kabut kepentingan.

Refleksi: Harapan Tanpa Kepastian

Hari meugang seharusnya jadi momentum penguatan silaturahmi, menghapus dendam politik, dan menuntaskan janji yang pernah diucapkan. Tapi kalau politik masih dikuasai mental balas jasa dan pertemanan musiman, akan terus ada oknum timses yang terjebak harapan palsu.

Yang lebih tragis, sebagian dari mereka rela menggadaikan harga diri lebih jauh — jadi calo proyek, makelar kebijakan, bahkan penyebar fitnah hanya untuk kembali dekat ke kekuasaan. Lingkaran setan yang tak pernah habis.

Penutup: Saatnya Kita Dewasa dalam Politik

Momen meugang tahun ini harus jadi alarm moral. Bahwa politik itu pengabdian, bukan ladang balas jasa. Timses seharusnya bukan alat, tapi bagian dari gerakan moral perubahan. Jangan mau jadi budak kekuasaan. Jangan menjual harga diri hanya demi sepotong proyek atau janji jabatan.

Ingat, di balik tatapan itu ada harga diri, ada keluarga yang menunggu, ada anak istri yang berharap. Jangan biarkan harapan itu dipermainkan politik kotor.

Karena meugang tanpa keadilan sosial hanyalah perayaan bagi yang berkuasa, dan luka bagi yang tertinggal.