Di Aceh, secangkir kopi bukan sekadar minuman. Ia adalah simbol persaudaraan, ruang diskusi, tempat meredakan resah, bahkan wadah menyelesaikan konflik. Tradisi kupi beugoh — kopi khas Aceh yang diracik dengan cara unik dan disajikan dalam suasana akrab — telah menjadi denyut nadi kehidupan sosial masyarakat di Tanah Rencong sejak masa lampau.
Lebih dari Rasa, Sebuah Cerita
Berbeda dengan kopi modern yang disajikan ala café-café perkotaan, kupi beugoh hadir dalam kesederhanaan. Rasanya pekat, aromanya kuat, dan disajikan dalam gelas kecil yang tak pernah jauh dari percakapan hangat. Di warung-warung kopi Aceh, mulai dari Banda Aceh hingga ke pelosok desa, kupi beugoh bukan hanya soal rasa, tapi soal cerita di baliknya.
Di sana, orang-orang membicarakan banyak hal: mulai dari urusan kampung, soal pilkada, soal anak muda yang merantau, hingga problem sosial yang belum selesai. Semua lebur di atas meja, ditemani kupi beugoh yang mengepul.
Ruang Demokrasi Rakyat Kecil
Di warung kopi Aceh, tak ada sekat antara rakyat jelata dengan pejabat, antara ulama dengan seniman, antara petani dengan mahasiswa. Semuanya duduk setara, saling bicara, dan bertukar pikiran. Warung kopi menjadi ruang demokrasi paling egaliter, jauh dari formalitas gedung-gedung pemerintahan.
Di situ, keputusan-keputusan kecil tentang kampung, tentang keamanan lingkungan, atau tentang hajatan bersama sering dirundingkan. Bahkan tak jarang, ketegangan antar individu pun diselesaikan lewat secangkir kupi beugoh.
Tradisi yang Harus Dijaga
Sayangnya, belakangan ini budaya kupi beugoh mulai tergerus oleh gaya hidup modern. Warung-warung kopi tradisional mulai tergantikan oleh café-café mewah yang lebih sibuk dengan selfie daripada silaturahmi. Budaya diskusi pun kian jarang, digantikan oleh layar-layar gadget di atas meja.
Padahal, dalam sejarah Aceh, kupi beugoh adalah medium silaturahmi, alat mempererat persaudaraan, bahkan menjadi bagian dari diplomasi sosial. Kehilangan tradisi ini sama saja dengan memutus salah satu urat nadi kehidupan sosial masyarakat Aceh.
Menjaga Warisan, Menyuburkan Silaturahmi
Sudah seharusnya, kita mengembalikan ruh warung kopi sebagai ruang pertemuan yang sehat dan bermanfaat. Bukan sekadar tempat duduk-duduk tanpa makna, tapi ruang berbagi ide, tempat menyusun solusi, dan membangun jejaring sosial yang kuat.
Kupi beugoh harus tetap disajikan, bukan sekadar di gelas, tapi dalam nilai-nilai persaudaraan dan kearifan lokal Aceh. Kita butuh lebih banyak warung kopi yang kembali menghidupkan diskusi kampung, musyawarah ringan, dan obrolan santai penuh makna.
Kupi beugoh bukan sekadar minuman pahit yang menghangatkan badan, tapi warisan budaya yang menghangatkan hati dan menyatukan masyarakat. Di dalam secangkir kopi itu, tersimpan nilai-nilai kebersamaan, demokrasi rakyat, dan filosofi hidup orang Aceh.
Maka, selagi masih bisa, mari kita jaga tradisi ini. Jangan biarkan kupi beugoh hanya tinggal cerita, tapi terus hidup di tengah-tengah kita, sebagai warisan budaya yang sarat makna.
Azhari