Saweu Gure: Tradisi Mulia yang Mulai Terlupa di Aceh
Oleh: Azhari
Aceh bukan hanya dikenal dengan sejarah perangnya yang panjang atau Syariat Islam yang kokoh, tapi juga kaya akan tradisi sosial-keagamaan yang penuh hikmah. Salah satunya adalah tradisi saweu gure — sebuah kebiasaan masyarakat Aceh untuk bersilaturahmi dan berkunjung ke rumah guru, ulama, atau teungku-teungku dayah.
Tradisi ini bukan sekadar kunjungan biasa, melainkan bagian dari etika sosial dan penghormatan kepada orang-orang yang dianggap sumber ilmu dan panutan moral di tengah masyarakat.
Asal-Usul dan Makna Saweu Gure
Secara harfiah, saweu gure berarti mengunjungi guru. Dalam konteks Aceh, guru tidak hanya berarti pendidik formal, tetapi ulama, teungku dayah, atau orang tua alim yang menjadi tempat bertanya tentang urusan agama, kehidupan, dan adab bermasyarakat.
Tradisi ini telah berlangsung sejak masa Kesultanan Aceh, ketika para santri, pemimpin kampung, hingga pejabat istana rutin datang ke meunasah atau rumah teungku untuk bersilaturahmi, menimba nasihat, dan meminta doa. Biasanya dilakukan menjelang Ramadhan, menjelang pesta pernikahan, atau setelah mendapat nikmat rezeki dan hajat tertentu.
Fungsi Sosial dan Religius Saweu Gure
Saweu gure memiliki beberapa fungsi penting dalam kehidupan masyarakat Aceh:
-
Menguatkan Silaturahmi
Kunjungan ini mempererat hubungan emosional antara murid dan guru, masyarakat dengan ulama, serta antar sesama warga desa. Ia menjadi ruang komunikasi yang hangat dan penuh hikmah. -
Memperoleh Nasihat Kehidupan
Di tengah perubahan zaman, nasihat teungku dianggap penyejuk hati dan penuntun jalan di saat bimbang. Banyak persoalan hidup — baik rumah tangga, usaha, maupun sosial — yang dicari solusinya lewat petuah para ulama. -
Mengajarkan Adab Hormat Kepada Ilmu dan Ulama
Saweu gure adalah bentuk penghargaan terhadap sumber ilmu. Masyarakat Aceh memegang teguh prinsip: ‘Bek but ka meutanyo keu teungku, bek meugah ka mit droe’ (jangan buat keputusan sebelum bertanya ke ulama). -
Ritual Doa Bersama
Tak jarang saweu gure diakhiri dengan doa bersama, untuk hajat tertentu atau sekadar memohon keselamatan kampung.
Tradisi yang Mulai Terpinggirkan
Sayangnya, di era modern ini, tradisi saweu gure mulai memudar. Perkembangan teknologi dan gaya hidup individualis membuat generasi muda jarang lagi menyambung silaturahmi ke rumah para teungku. Nasihat kehidupan lebih banyak dicari lewat internet ketimbang duduk bersimpuh di hadapan guru.
Jika dibiarkan, tradisi mulia ini bisa hilang ditelan zaman, padahal nilai-nilainya sangat relevan untuk mempererat hubungan sosial dan menjaga kearifan lokal Aceh.
Menghidupkan Kembali Saweu Gure
Sudah saatnya pemerintah, dayah, dan tokoh masyarakat kembali menghidupkan tradisi ini. Bisa dimulai dengan program Saweu Gure Dayah rutin, atau menjadikan kunjungan ke rumah guru sebagai bagian dari pendidikan karakter di sekolah dan dayah. Pemerintah gampong pun bisa menjadikan momen saweu gure sebagai agenda adat menjelang hari-hari besar Islam.
Selain itu, para orang tua perlu kembali menanamkan nilai hormat terhadap ulama dan guru kepada anak-anak mereka. Bahwa keberkahan hidup seringkali lahir dari doa dan restu guru yang tulus.
Saweu gure adalah warisan budaya Aceh yang bukan sekadar tradisi, melainkan bentuk pendidikan adab dan penghormatan terhadap ilmu. Tradisi ini bukan hanya soal kunjungan fisik, tetapi juga tentang menjaga hubungan batin, merawat silaturahmi, dan menjemput nasihat-nasihat kehidupan.
Jangan biarkan saweu gure menjadi cerita masa lalu. Mari kita hidupkan kembali, karena Aceh yang besar lahir dari rakyat yang menjunjung tinggi ilmu, ulama, dan adab.