Hari ini, bangsa kita tidak lagi berperang dengan senapan dan mesiu. Tak ada lagi benteng pertahanan atau parit-parit gerilya. Tapi jangan salah, perang itu tetap ada. Bentuknya berubah — menjadi perang pikiran, perang keberpihakan, perang etika, perang moralitas, dan perang peran.
Di tengah bangsa yang terus dibanjiri berita manipulasi, elite yang sibuk melanggengkan kuasa, dan rakyat kecil yang sibuk bertahan hidup, setiap kita ditantang untuk memilih: berdiam, jadi penonton, atau ambil peran.
Karena sejatinya, setiap zaman punya medannya, dan setiap manusia punya perannya.
Perang Tak Lagi Di Medan Tempur
Jika dulu pahlawan Aceh seperti Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar berperang melawan peluru, hari ini kita berperang melawan ketidakadilan. Melawan pembodohan yang dipoles dengan dalih pembangunan. Melawan kesenjangan yang dibungkus dengan jargon-jargon kesejahteraan.
Perang hari ini bukan lagi soal darah, tapi soal keberanian bersuara. Bukan soal angkat senjata, tapi soal angkat gagasan. Bukan soal menyerbu markas musuh, tapi soal menyerbu ketakutan dalam diri.
Peranmu Menentukan Sejarah
Jangan pernah remehkan peran sekecil apapun. Guru di pelosok kampung yang sabar mengajarkan huruf-huruf hijaiyah kepada anak-anak miskin — itu sebuah perang melawan kebodohan. Aktivis sosial yang membela hak petani di meja birokrasi — itu perang melawan ketidakadilan. Mahasiswa yang turun ke jalan membela harga diri rakyatnya — itu perang melawan kezaliman.
Kita hanya kalah jika memilih diam. Dan sejarah bangsa ini ditulis oleh orang-orang yang berani mengambil peran, sekecil apapun.
Jangan Bangga Jadi Penonton
Di era digital, banyak yang merasa cukup jadi komentator. Merasa puas menyaksikan ketimpangan sambil menyeruput kopi di kafe atau sekadar membagikan status protes di media sosial. Padahal, bangsa ini tak butuh lebih banyak penonton — ia butuh pelaku. Butuh pejuang.
Mari berperang dalam peran masing-masing. Jika engkau wartawan, lawan ketidakbenaran dengan tulisanmu. Jika engkau ustaz, lawan kemungkaran dengan ceramahmu. Jika engkau mahasiswa, lawan ketidakadilan dengan gagasan dan aksi. Jika engkau rakyat biasa, lawan ketimpangan dengan keberanian bersuara.
Karena negeri ini takkan berubah oleh orang yang hanya menonton.
Perang Itu Soal Keberpihakan
Kita tak bisa netral saat kemiskinan dibiarkan, saat moral bangsa merosot, saat hak-hak rakyat diambil. Dalam situasi seperti ini, diam adalah keberpihakan kepada penindas. Diam adalah pengkhianatan.
Berperang dalam peran artinya berpihak. Berpihak kepada kebenaran. Berpihak kepada yang lemah. Berpihak kepada masa depan yang lebih baik.
Ayo, Tentukan Peranmu
Hari ini, mari kita tanya pada diri sendiri: peran apa yang sudah aku ambil untuk negeriku? Ataukah selama ini aku hanya jadi penonton di tribun sejarah? Hanya jadi penikmat ketidakadilan yang disuguhkan saban hari di layar-layar berita?
Ayo, tentukan medan peranmu. Tak perlu jadi pejabat untuk berbuat. Tak perlu jadi jenderal untuk memimpin. Karena perubahan lahir dari orang-orang biasa yang memilih luar biasa di saat yang tepat.
Mari berperang dalam peran. Karena sejarah tak akan mengenang orang yang diam. Sejarah hanya mencatat mereka yang memilih berjuang.
Penulis Azhari