Aceh pernah menjadi tanah paling berdarah di republik ini. Selama lebih dari 29 tahun konflik bersenjata, ribuan nyawa melayang, harta benda luluh lantak, keluarga terpecah, dan trauma masih membekas hingga kini. Masyarakat Aceh menjadi korban utama, baik nyawa maupun harta, di tengah kepentingan politik elite lokal dan nasional yang saling berebut pengaruh.
Lalu, untuk apa semua itu? Pertanyaan ini tak bisa dihindari. Sudah saatnya masyarakat Aceh merenung, apakah harga nyawa dan penderitaan selama konflik benar-benar menghasilkan keadilan dan kesejahteraan, atau justru hanya dijadikan alat tawar-menawar kekuasaan.
Dari Perspektif Hukum: Janji yang Tak Pernah Tuntas
Secara hukum, perdamaian Aceh diikat dalam Nota Kesepahaman Helsinki 2005. Di situ disebutkan soal Pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan perlindungan hak-hak korban konflik. Tapi realitasnya, hingga kini pengadilan itu tak pernah ada, KKR Aceh hidup segan mati tak mau, dan hak-hak korban masih diabaikan.
Pasal 45 dan 46 UU Pemerintahan Aceh (UUPA) seharusnya menjadi dasar hukum kuat untuk memastikan penegakan keadilan HAM di Aceh. Tapi apa yang terjadi? Elit politik lokal lebih sibuk rebutan proyek, jabatan, dan paket multiyears, ketimbang menagih realisasi amanat hukum itu kepada Jakarta.
Negara abai, elit Aceh diam. Korban? Tetap menjadi cerita di masa lalu.
Dari Perspektif Sosial: Trauma yang Tak Pernah Sembuh
Masyarakat Aceh tak hanya kehilangan nyawa dan harta. Mereka kehilangan rasa percaya, kehilangan harapan, dan mengalami trauma sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi. Banyak anak tumbuh tanpa ayah, banyak istri kehilangan suami, dan banyak keluarga yang sampai hari ini masih mencari keberadaan orang yang hilang secara misterius.
Namun, di saat masyarakat berjuang memulihkan luka, elit politik malah asyik memperdagangkan narasi damai dan penderitaan masa lalu sebagai alat politik. Konflik Aceh dijadikan komoditas kampanye, seolah mereka masih menjadi pejuang, padahal yang mereka perjuangkan adalah kursi, bukan rakyat.
Dari Perspektif Politik: Damai yang Dikuasai Elit
Perdamaian Aceh hari ini lebih banyak dimanfaatkan oleh segelintir elit politik. Eks kombatan dan tokoh politik lokal yang dulunya berjuang bersama rakyat, kini terjebak dalam pragmatisme politik. Demokrasi Aceh pun akhirnya hanya melahirkan oligarki baru — orang-orang yang punya kedekatan dengan kekuasaan, yang menguasai proyek dan anggaran daerah, sementara masyarakat akar rumput kembali terpinggirkan.
Otonomi khusus, dana otsus, dan kekuasaan politik lokal tidak sepenuhnya dinikmati rakyat Aceh. Yang terjadi justru korupsi berjamaah, jual beli jabatan, proyek siluman, dan kemiskinan struktural yang tetap tinggi. Konflik boleh usai, tapi ketidakadilan tetap hidup dalam bentuk baru.
Lalu, Untuk Apa Semua Pengorbanan Itu?
Inilah ironi Aceh hari ini. Rakyat berkorban nyawa dan harta untuk memperjuangkan harga diri, keadilan, dan martabat, tapi hasilnya justru dinikmati segelintir elit. Kekuasaan yang diperoleh lewat jalan berdarah itu kini dikapitalisasi untuk memperkaya diri dan kroni, bukan untuk menyejahterakan rakyat.
Pertanyaan besar bagi kita semua:
- Apakah nyawa ribuan syuhada pantas ditukar dengan proyek multiyears?
- Apakah penderitaan korban konflik layak dibayar dengan jabatan elit?
- Apakah kemiskinan yang tetap tinggi ini sebanding dengan pengorbanan rakyat dulu?
Jika jawabannya tidak, maka sudah saatnya masyarakat Aceh bangkit. Jangan lagi percaya pada elite politik yang menjadikan konflik masa lalu sebagai alat politik. Aceh butuh generasi baru yang berani menagih keadilan, menghidupkan kembali tuntutan HAM, dan memastikan bahwa nyawa yang hilang tak sia-sia.
Maka Masyarakat Aceh bukan hanya korban sejarah, tapi juga korban ketidakadilan yang berlanjut hingga kini. Konflik telah memakan nyawa dan harta, tapi damai pun tak benar-benar menghadirkan keadilan. Sudah saatnya rakyat Aceh sadar: damai tanpa keadilan adalah ilusi.
Perjuangan belum selesai. Korban belum mendapat keadilan. Dan Aceh belum sepenuhnya merdeka dari ketidakadilan.
Kita tak boleh diam.