Sejarah Aceh adalah sejarah keberanian, keulamaan, dan kehormatan. Dalam lembaran perjuangan melawan kolonialisme Belanda, nama Panglima Sagoe XXVII Mukim, Teuku Panglima Polem Mahmud Arifin — atau yang dikenal dengan Cut Banta — menjadi salah satu sosok yang nyaris terabaikan dalam narasi besar bangsa ini. Padahal, perannya bukan hanya sebagai panglima perang, tapi juga sebagai ulama sufi, pemimpin adat, dan penjaga marwah Kesultanan Aceh di saat genting.
Cut Banta bukan sekadar panglima. Ia adalah keturunan langsung Sultan Iskandar Muda, sultan terbesar dalam sejarah Aceh Darussalam. Darah kepemimpinan dan keilmuan mengalir dalam dirinya. Saat agresi Belanda kedua tahun 1874 menggempur Kesultanan Aceh dan Sultan Mahmud Syah wafat, Cut Banta bersama Teuku Imum Leung Bata dan Tuanku Hasyim Banta Muda menjadi garda terdepan yang mengatur jalannya perlawanan. Mereka juga termasuk di antara 12 orang penting yang berhak memilih Sultan Aceh, sebuah kehormatan politik dan adat yang hanya diberikan kepada segelintir orang di negeri Rencong.
Ketika Sultan Muhammad Daudsyah diangkat menjadi sultan di usia belia, Cut Banta bertindak sebagai salah satu wali yang mendampingi pemerintahan. Tugasnya bukan hanya menjaga istana dari ancaman, tapi juga memegang amanah adat, agama, dan strategi perang. Ia adalah tipe pemimpin yang alim dalam ilmu agama, ahli tarekat sufi, sekaligus panglima medan tempur yang tak gentar menghadapi pasukan modern Belanda.
Sayangnya, dalam narasi sejarah modern, nama-nama seperti Cut Banta sering terpinggirkan, kalah populer dengan tokoh-tokoh nasional lain. Padahal, jejak dan peran mereka sangat penting dalam menjaga eksistensi Aceh di masa-masa paling gelap.
Kini, dengan hadirnya sketsa wajah Panglima Sagoe XXVII Mukim yang divisualkan ulang, kita seakan diingatkan kembali bahwa sejarah Aceh bukan sekadar tentang peperangan, tapi juga tentang keteguhan iman, kebijaksanaan adat, dan diplomasi politik yang cerdas. Cut Banta adalah contoh nyata seorang pemimpin paripurna: panglima di medan laga, ulama di meja musyawarah, wali di sisi sultan, dan pembela adat di hadapan rakyat.
Sudah waktunya sosok-sosok seperti Cut Banta diangkat kembali ke permukaan, dikenalkan kepada generasi muda Aceh. Bukan sekadar lewat nama jalan atau gelar anumerta, tapi lewat buku sejarah, mural di kota-kota Aceh, film dokumenter, hingga kurikulum lokal di sekolah-sekolah dayah dan formal. Sejarah adalah cermin jati diri — dan Aceh punya banyak cermin berharga yang kini mulai berdebu.
Semoga visualisasi sketsa ini menjadi pembuka jalan, agar jejak Cut Banta dan para panglima adat lainnya kembali bersuara di bumi yang dulu mereka bela dengan darah dan doa.
Aceh tidak pernah kekurangan pahlawan, hanya saja kita sering lupa menyebut nama mereka.