Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Meuligoe: Bukan Sekadar Istana, Tapi Cermin Budaya dan Jati Diri

Sabtu, 07 Juni 2025 | 22:01 WIB Last Updated 2025-06-07T15:01:27Z


Oleh: Azhari 

Jika kita berbicara tentang Aceh, tak lengkap rasanya tanpa menyebut kata Meuligoe. Kata ini begitu lekat dalam kosakata masyarakat Aceh, hingga hari ini masih menjadi rujukan tempat tinggal atau kediaman resmi bagi Sultan, Raja, atau kepala pemerintahan. Namun di balik sebutan itu, ada sejarah panjang, narasi budaya, dan makna simbolik yang mungkin mulai terlupakan oleh generasi kini.

Dari Mana Asal Kata "Meuligoe"?

Secara etimologis, Meuligoe berasal dari bahasa Aceh klasik yang berarti "tempat agung" atau "istana megah". Kata ini diyakini berasal dari percampuran bahasa Melayu kuno dan dialek lokal Aceh yang dipengaruhi oleh bahasa Persia dan Arab. Dalam tradisi kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, termasuk Aceh Darussalam, istana bukan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal Sultan, tetapi juga sebagai pusat pemerintahan, tempat musyawarah, hingga panggung penyebaran Islam.

Dalam manuskrip-manuskrip kuno Aceh dan hikayat lama, istilah Meuligoe kerap muncul. Misalnya dalam Hikayat Pocut Muhammad atau Hikayat Prang Sabi, kata Meuligoe disebut sebagai tempat di mana keputusan-keputusan penting diambil, di mana syair-syair dakwah dilantunkan, dan tempat para hulubalang bersumpah setia. Di Meuligoe pula, tamu agung dari Turki Utsmani, Gujarat, hingga Hadramaut pernah disambut penuh kehormatan.

Meuligoe Sebagai Simbol Kekuasaan dan Kedaulatan

Meuligoe bukan sekadar bangunan fisik, tapi simbol kedaulatan rakyat Aceh di bawah pimpinan Sultan. Di Aceh tempo dulu, Meuligoe dibangun di titik strategis, biasanya di pusat kota atau dekat sungai besar. Bukan hanya untuk keperluan strategis, tapi agar rakyat dapat menyaksikan simbol kekuasaan mereka.

Di dalam Meuligoe tersimpan singgasana megah, bendera kebesaran Alam Peudeung, dan pusaka-pusaka kerajaan. Setiap keputusan Sultan yang diumumkan dari Meuligoe akan menjadi hukum yang ditaati di seluruh wilayah kerajaan. Meuligoe juga menjadi panggung diplomasi, tempat para duta asing menandatangani perjanjian, atau sekadar memohon izin berdagang di pelabuhan-pelabuhan Aceh.

Warisan Nama yang Mulai Tergerus

Hari ini, banyak yang mengenal kata Meuligoe hanya sebatas nama gedung pemerintahan, rumah jabatan, atau hotel berbintang di Aceh. Namun, makna filosofisnya mulai kabur. Meuligoe dulu adalah tempat di mana rakyat boleh mengadukan nasib dan mencari keadilan, bukan sekadar rumah mewah pejabat. Dulu, Meuligoe menyatukan agama, budaya, dan politik dalam satu ruang peradaban.

Ironisnya, modernisasi dan politik pragmatis hari ini justru menjadikan istilah Meuligoe sekadar ornamen nama tanpa nilai luhur. Gedung-gedung bernama Meuligoe berdiri megah, tapi tanpa ruang bagi rakyat kecil. Tak lagi ada sidang rakyat, musyawarah adat, atau gelar tokoh ulama di sana. Nama tetap Meuligoe, tapi jiwanya tak lagi sama.

Kenapa Kita Harus Menghidupkan Kembali Nilai Meuligoe?

Membicarakan asal-usul nama Meuligoe berarti bicara tentang identitas Aceh. Saat banyak wilayah di Nusantara kehilangan jejak warisan bahasanya, Aceh masih punya Meuligoe, Peudeung, Peutron, dan Tambo sebagai penanda budaya. Tinggal bagaimana generasi muda merawat makna itu.

Menghidupkan kembali nilai-nilai Meuligoe bukan berarti membangun ulang istana kerajaan, tapi menghadirkan kembali nilai keadilan, musyawarah, kearifan adat, dan keterbukaan pemimpin terhadap rakyat. Meuligoe bisa menjadi metafora bahwa setiap pemimpin Aceh hari ini sepatutnya punya rumah kebijakan yang berpihak pada rakyat.

Di era digital, Meuligoe bisa dihidupkan lewat ruang-ruang diskusi publik, forum adat virtual, hingga musyawarah daring yang melibatkan ulama, cendekiawan, dan rakyat biasa. Meuligoe bukan hanya bangunan fisik, tapi ruang batin, nilai, dan kearifan lokal.

Penutup

Nama Meuligoe memang lahir dari sejarah, tapi nilainya harus hidup dalam tindakan hari ini. Jika Meuligoe dulu menjadi tempat rakyat menemukan keadilan, seharusnya para pemimpin hari ini menjadikan hati, kantor, dan kebijakan mereka sebagai Meuligoe rakyat.

Karena Meuligoe sejatinya bukan cuma simbol kekuasaan, tapi benteng keadilan, tempat bernaungnya suara orang kecil, dan mercusuar peradaban Aceh yang berakar pada adat, agama, dan keberanian rakyatnya.

"Aceh tanpa Meuligoe adalah Aceh yang kehilangan jiwa kepemimpinannya."