Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Meuligoe: Lebih dari Sekadar Nama, Sebuah Warisan Marwah Aceh

Sabtu, 07 Juni 2025 | 22:06 WIB Last Updated 2025-06-07T15:16:13Z




Oleh: Azhari 

Dalam khazanah bahasa dan budaya Aceh, ada satu kata yang selalu menyiratkan kemegahan, wibawa, dan kekuasaan: Meuligoe. Kata ini sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam hingga kini tetap bertahan, meski maknanya mulai bergeser dalam keseharian masyarakat modern. Banyak yang tahu Meuligoe sebagai rumah kediaman resmi sultan atau pemimpin daerah, namun sedikit yang benar-benar memahami asal-usul dan filosofi kata ini.

Jejak Kata "Meuligoe" dalam Sejarah Aceh

Secara bahasa, istilah Meuligoe berasal dari bahasa Aceh kuno yang merujuk pada bangunan agung tempat bersemayamnya seorang raja atau sultan. Kata ini diyakini merupakan adaptasi lokal dari kata-kata dalam bahasa Melayu klasik dan unsur Persia-Arab yang sejak abad ke-13 masuk melalui jalur perdagangan dan dakwah di pesisir Sumatra, termasuk di Aceh.

Dalam manuskrip dan hikayat lama Aceh, istilah Meuligoe kerap disandingkan dengan singgasana, mahligai, atau balai musyawarah. Misalnya dalam Hikayat Malem Dagang dan Hikayat Prang Sabi, Meuligoe disebut sebagai pusat segala keputusan kerajaan, tempat sultan bermusyawarah dengan para uleebalang, hulubalang, dan para alim ulama.

Lebih dari sekadar istana fisik, Meuligoe juga menjadi pusat kebudayaan, tempat pertemuan adat, hingga medan diplomasi antarbangsa. Duta dari Turki Utsmani, Gujarat, Tiongkok, dan Arab dikisahkan pernah menghadap ke Meuligoe Sultan Aceh sebagai tanda pengakuan kedaulatan.

Meuligoe: Simbol Kekuasaan yang Bermarwah

Dalam struktur adat Aceh, Meuligoe bukan sekadar tempat tinggal raja, tetapi lambang keadilan, keberanian, dan kemuliaan. Di sinilah segala perkara rakyat diputuskan, hukum syariat ditegakkan, dan keputusan adat disahkan. Meuligoe ibarat benteng terakhir di mana marwah rakyat Aceh dijaga.

Dalam kebudayaan Aceh, segala keputusan dari Meuligoe haruslah berpihak pada rakyat, menegakkan keadilan, dan menjunjung tinggi syariat Islam. Itulah sebabnya Meuligoe di masa silam tidak hanya diisi dengan pejabat dan hulubalang, tetapi juga para alim ulama yang menjadi penasehat utama Sultan.

Mengapa Nama Meuligoe Masih Dipakai Sampai Hari Ini?

Meski Kesultanan Aceh telah lama berakhir, nama Meuligoe tetap hidup dalam masyarakat Aceh modern. Rumah dinas gubernur Aceh, misalnya, hingga hari ini masih disebut Meuligoe Gubernur. Bahkan di beberapa daerah, rumah-rumah pejabat tinggi, balai adat, dan hotel berbintang juga menggunakan nama Meuligoe, sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah.

Sayangnya, dalam banyak kasus, penggunaan nama Meuligoe hari ini lebih kepada aspek kemewahan dan status, tanpa menyentuh nilai filosofisnya. Meuligoe dijadikan simbol prestise semata, bukan lagi sebagai pusat kebijakan yang berpihak kepada rakyat.

Saatnya Mengembalikan Ruh Meuligoe

Saya berpendapat, sudah saatnya masyarakat dan pemimpin Aceh kembali merenungi nilai luhur di balik kata Meuligoe. Meuligoe seharusnya menjadi ruang terbuka bagi rakyat untuk bersuara, tempat musyawarah adat, dan benteng terakhir penegakan keadilan.

Jika dahulu Meuligoe menjadi pusat peradaban Aceh, kini Meuligoe bisa menjadi simbol keterbukaan pemerintah, pusat pertemuan adat dan budaya, hingga ruang edukasi sejarah bagi generasi muda. Bukan hanya bangunan megah yang sepi makna.

Penutup: Meuligoe Bukan Sekadar Nama

Nama Meuligoe lahir dari peradaban, marwah, dan kebesaran Aceh masa silam. Ia bukan sekadar nama rumah jabatan, tetapi cerminan nilai-nilai keadilan, musyawarah, adat, dan keberanian rakyat Aceh dalam mempertahankan martabatnya.

Akan sangat disayangkan bila kata Meuligoe hanya berhenti sebagai nama gedung tanpa makna. Sudah waktunya generasi muda Aceh tidak hanya mengenang Meuligoe sebagai artefak sejarah, tetapi menghidupkan kembali semangat Meuligoe dalam setiap kebijakan, musyawarah, dan tindakan.

Karena sebuah bangsa yang lupa akan asal-usul bahasanya, sesungguhnya sedang kehilangan separuh harga dirinya.