Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Oknum Dewan — Pertama Dipilih, Kedua Dibantai, Etika Lupa Masyarakat

Jumat, 06 Juni 2025 | 00:58 WIB Last Updated 2025-06-05T17:58:51Z




Oleh: Azhari 

Di setiap pesta demokrasi, ada sekelompok orang yang begitu dielu-elukan, dielus pundaknya, dielap keringatnya, dan dielu-elukan namanya. Mereka disebut "wakil rakyat". Saat pertama kali terpilih, mereka datang membawa seribu harapan, seribu janji, dan sejuta kata manis.

Akan saya perjuangkan suara rakyat.” “Saya dari rakyat, untuk rakyat, dan kembali ke rakyat.

Namun, seperti kisah cinta musiman, kesetiaan itu hanya bertahan di awal cerita.

Dipilih Pertama Kali: Disayang

Saat pertama kali dipilih, oknum dewan itu bagai pahlawan tanpa tanda jasa. Warung kopi penuh namanya. Ibu-ibu arisan menyebutnya. Pemuda kampung berharap jalan dibeton, lapangan direnovasi, dan beasiswa disebar. Semua percaya, orang ini berbeda.

Ia turun ke sawah, bersalaman di masjid, menyantuni anak yatim, bahkan menyicip kopi di warung kecil dengan bangga. Seakan benar-benar bagian dari rakyat kecil.

Tapi, sebagaimana cerita klise politik kita: semua itu hanya manis di awal.

Naik Kedua Kali: Dibantai

Ketika periode kedua datang, rakyat mulai paham. Janji tinggal janji. Aspirasi tak pernah sampai. Jalan tetap berlubang, irigasi rusak, dan beasiswa hanya untuk orang dekat.

Saat itulah, oknum dewan yang dulu dielu-elukan mulai dibantai di warung kopi, di media sosial, di pengajian, dan di rapat kampung. Bukan karena rakyat benci tanpa sebab, tapi karena kepercayaan yang dulu diberikan telah dihianati.

Kata orang tua kita di kampung:

“Yang khianat pertama kali, bisa dimaafkan. Tapi kalau dua kali, itu namanya pengkhianat sejati.”

Dan rakyat pelan-pelan mulai cerdas. Wajah-wajah lama ditandai. Nama-nama palsu dicatat.

Etika Lupa Masyarakat

Yang paling menyedihkan bukan cuma soal janji yang diingkari. Tapi soal etika yang dilupakan.

Dulu, sebelum terpilih, begitu sopan berbicara. Ramah menyapa. Rajin hadir di musyawarah desa. Tapi begitu menjabat, etika sosial dilupakan. Rakyat tak lagi disapa, telepon tak diangkat, undangan kampung diabaikan.

Etika yang dulu dijadikan modal politik, kini dicampakkan ke tong sampah.

Inilah penyakit klasik sebagian oknum dewan kita: lupa asal, lupa janji, lupa etika.

Penutup: Rakyat Jangan Lupa

Rakyat Aceh, rakyat Indonesia — kita tak boleh mudah lupa. Ingat siapa yang pernah menipu janji, abaikan etika, dan hanya datang saat butuh suara. Jangan biarkan kursi wakil rakyat diisi orang yang tak lagi punya hati untuk rakyat.

Karena sekali rakyat sadar, pengkhianat itu tak hanya dibantai di warung kopi, tapi juga di bilik suara.

Saatnya politik dibersihkan dari mereka yang hanya menjadikan rakyat sebagai alat, lalu lupa setelah berkuasa.

Ayo jaga ingatan, demi masa depan yang lebih baik.