Oleh: Azhari
Di beranda berita pagi ini, satu lagi kabar tragis mampir: seorang bayi ditemukan dibuang di pinggir jalan, di dalam kardus bekas mie instan, lengkap dengan ari-ari yang masih basah. Dalam diam, kita mengelus dada. Tapi dalam hati bertanya, kenapa ini terus berulang?
Fenomena bayi dibuang bukan cerita baru di negeri ini. Hampir setiap bulan, ada saja kasus serupa. Bayi-bayi tak berdosa yang lahir dari hubungan pacaran bebas, kemudian dibuang begitu saja karena rasa takut, malu, dan stigma sosial. Ironisnya, pelaku pembuangan itu seringkali masih sangat muda — pelajar, mahasiswa, bahkan pekerja yang baru merintis karir.
Pacaran Zaman Sekarang: Lebih Bebas, Lebih Berbahaya
Dulu, pacaran masih dibatasi norma keluarga dan adat. Hari ini, pacaran bukan lagi sekadar saling kenal hati, tapi seringkali diiringi dengan hubungan fisik di luar nikah. Modusnya bermacam-macam. Dari sekadar ngopi berdua, staycation, hingga diam-diam tinggal bersama. Semua terasa biasa karena budaya permisif sudah menembus dinding rumah tangga.
Media sosial dan tontonan daring tak kalah menyumbang peran. Romantisasi pacaran bebas di film, lagu, dan TikTok membuat remaja merasa hal itu wajar. Padahal, di balik “kebebasan” itu, ada bom waktu yang siap meledak — kehamilan tak diinginkan.
Ketika Hamil, Lalu Ketakutan
Sebagian besar pelaku pembuangan bayi mengaku takut pada orang tua, malu pada masyarakat, atau tidak tahu harus berbuat apa. Maka jalan pintas pun diambil: bayi dibuang ke sungai, ke selokan, ke kebun, bahkan ke depan rumah orang. Rasa kemanusiaan kalah oleh rasa panik. Kasus-kasus ini jadi bukti, betapa lemahnya sistem sosial kita dalam membina generasi muda.
Kita sering menyalahkan perempuan semata dalam kasus begini. Padahal, di balik itu ada laki-laki yang juga bertanggung jawab. Lalu di mana peran keluarga, sekolah, dan masyarakat? Apakah selama ini kita cukup peduli dengan pergaulan anak-anak kita?
Stigma yang Membunuh
Faktor lain yang mendorong fenomena ini adalah stigma. Masyarakat kita belum ramah terhadap perempuan korban pacaran bebas yang hamil. Alih-alih dibantu, mereka malah diasingkan, diolok-olok, dianggap aib keluarga. Akibatnya, korban memilih jalan sunyi: membuang bayi, menggugurkan kandungan, atau bahkan bunuh diri.
Kita perlu mereformasi cara pandang ini. Menyalahkan korban tak menyelesaikan masalah. Lebih baik memperbaiki sistem pendidikan moral, memperketat pengawasan pergaulan, dan menyediakan layanan konseling yang ramah anak muda.
Solusi: Jangan Hanya Mengutuk
Mengutuk pelaku saja tidak cukup. Kita perlu introspeksi sosial. Mengapa anak-anak kita lebih takut hamil di luar nikah ketimbang takut berzina? Mengapa mereka lebih khawatir pada omongan tetangga daripada rasa bersalah membunuh anak kandung sendiri?
Saatnya orang tua lebih terbuka berdialog tentang pergaulan sehat, bukan sekadar melarang tanpa mendampingi. Sekolah mesti kembali menekankan pendidikan karakter, bukan hanya kejar target kurikulum. Pemerintah daerah bisa menyediakan rumah singgah atau hotline konseling gratis bagi korban kehamilan di luar nikah.
Dan yang paling penting, norma agama dan adat istiadat mesti dipulihkan wibawanya. Bukan dalam bentuk kekerasan moral, tapi lewat keteladanan, edukasi, dan kepedulian sosial yang nyata.
Maka Setiap bayi berhak hidup, sekalipun lahir dari relung dosa. Setiap anak muda berhak mendapat bimbingan, bukan hanya vonis. Jangan biarkan pacaran yang lepas kendali terus melahirkan petaka. Karena di balik satu bayi yang dibuang, ada jeritan kemanusiaan yang tengah kita abaikan.
Malu itu wajar, tapi membunuh lebih nista.