Oleh: Azhari
Di negeri ini, pacaran telah menjadi budaya yang begitu lumrah. Bahkan kini bukan sekadar lumrah, tetapi dibiarkan, dirayakan, dan dijadikan konten tontonan sehari-hari. Generasi muda kita tanpa sungkan mengumbar kemesraan di ruang publik, baik secara fisik maupun di media sosial. Sayangnya, di balik romantisme murahan itu, ada petaka sosial yang terus mengintai: kehamilan di luar nikah.
Fenomena ini bukan isapan jempol. Berita tentang pelajar hamil di luar nikah, mahasiswa menggugurkan kandungan, hingga pembuangan bayi kerap menghiasi layar pemberitaan kita. Ironisnya, masyarakat lebih senang bergosip soal siapa pelakunya, daripada bertanya kenapa itu bisa terjadi?
Pacaran Bebas, Tak Ada Lagi Sekat
Dulu, pacaran masih dibatasi adab dan norma. Hari ini, sekat itu nyaris tak ada. Di banyak tempat, anak muda bisa bebas pergi berduaan, bermalam di hotel murah, hingga tinggal bersama tanpa status. Aneh bin ajaib, pelanggaran nilai ini justru dianggap hal biasa, asalkan tidak viral.
Para orang tua banyak yang memilih diam. Sekolah lebih sibuk mengejar angka kelulusan daripada membina moral. Tokoh agama kehilangan wibawa karena suara nasihatnya tenggelam oleh suara tren digital. Sedangkan pemerintah? Sibuk mengatur urusan politik dan seremonial.
Kehamilan di Luar Nikah Dipertontonkan, Bukan Ditangani
Yang lebih miris, belakangan ini media sosial justru menjadi panggung bagi para pelaku hamil di luar nikah. Ada yang membuat video klarifikasi, curhat tentang status anak tanpa bapak, hingga konten gender reveal yang malah jadi viral. Fenomena ini bukan lagi aib, melainkan konten konsumsi publik.
Alih-alih menutup celah pergaulan bebas, kita malah membukakan pintu lebih lebar. Fenomena ini makin dipertontonkan tanpa ada kejelasan arah penyelesaian. Korban makin banyak, moral makin anjlok, norma makin terpinggirkan.
Siapa Bertanggung Jawab?
Dalam situasi ini, siapa yang harus bertanggung jawab? Kita semua.
Orang tua harus lebih tegas dan terbuka kepada anak-anaknya, tidak sekadar memberi larangan tanpa alasan. Sekolah harus kembali mengajarkan pendidikan moral, bukan cuma soal nilai akademik. Pemerintah wajib hadir lewat regulasi dan program-program yang mendidik, bukan sekadar menutup mata.
Media sosial harus diatur, bukan untuk membungkam, tapi untuk menertibkan konten yang merusak moral publik. Dan kita sebagai masyarakat jangan hanya jadi penonton sekaligus penghakim, tapi ikut mengambil peran dalam membangun lingkungan yang sehat bagi generasi muda.
Budaya Permisif Harus Dilawan
Sudah saatnya kita melawan budaya permisif ini. Pacaran yang tanpa batasan itu bukan sekadar soal hak pribadi, tapi menyangkut masa depan bangsa. Bila generasi muda dibiarkan rusak oleh nafsu tanpa nilai, apa yang bisa kita harapkan 10–20 tahun ke depan?
Perlu ada gerakan moral yang nyata, bukan sekadar jargon. Tokoh masyarakat, ulama, akademisi, hingga influencer digital harus mengambil peran. Kita butuh suara-suara waras yang berani berkata “ini salah” di tengah kebisingan dunia maya yang gemar menormalisasi kebobrokan.
Saatnya Berhenti Membiarkan
Cukup sudah kita membiarkan. Karena setiap kebebasan tanpa nilai akan melahirkan bencana sosial. Dan bencana terbesar bukanlah ketika generasi kita rusak, tetapi saat kita semua merasa itu hal biasa.
Jangan tunggu bayi-bayi tak berdosa terus dilempar ke tong sampah atau sungai. Jangan tunggu anak-anak kita kehilangan masa depan karena pergaulan tanpa batas. Sekaranglah waktunya kita peduli.