Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Perasaan Suami yang Tersakiti, yang Terpendam

Minggu, 15 Juni 2025 | 02:33 WIB Last Updated 2025-06-14T19:33:25Z



“Tak semua luka bisa terlihat. Dan tak semua tangisan harus terdengar.”


Saat bicara tentang luka batin dalam rumah tangga, orang kerap membayangkan perempuan yang tersakiti. Tentang istri yang disakiti suami, tentang air mata perempuan yang diperlakukan kasar. Padahal di sudut lain kehidupan, ada banyak suami yang juga menahan perih dalam diam.

Suami, yang karena budaya dan adatnya, dituntut kuat, tegar, dan pantang mengeluh. Karena katanya, lelaki itu kepala rumah tangga. Ia tak boleh lemah, tak boleh bercerita soal sedihnya, apalagi mengadu soal luka hatinya. Akhirnya banyak suami yang menyimpan semua rasa perih itu di sudut hatinya yang paling dalam.

Suami Pun Bisa Tersakiti

Jangan kira hanya istri yang bisa terluka. Suami juga manusia biasa. Ia punya hati, punya rasa, dan bisa kecewa. Terluka bukan hanya karena dipukul atau dihina, tapi karena ucapan dingin, sikap acuh, atau perlakuan kasar istri yang tak banyak disadari.

Ada suami yang sakit hati ketika di depan anak-anaknya, istrinya berkata kasar. Ada suami yang merasa hancur saat dihina soal penghasilannya. Ada suami yang kecewa ketika keputusannya tak dihargai. Dan ada pula suami yang remuk ketika ibu kandungnya dihina, sementara ia tak sanggup membalas, karena takut pertengkaran.

Luka-luka itu seringkali tak terucap. Bukan karena tak terasa, tapi karena suami tahu, siapa pula yang mau mendengar keluhan laki-laki? Bukankah di mata banyak orang, laki-laki harus kuat dan tegar?

Akhirnya, luka itu disimpan. Ditahan. Terpendam dalam dada. Tapi ketahuilah, luka yang ditahan terlalu lama bisa berubah jadi dendam, jadi jarak, bahkan jadi racun dalam hubungan.

Suami Juga Ingin Dimengerti

Seperti halnya istri, suami juga ingin dimengerti. Ia ingin didengar saat lelah, ingin disambut hangat saat pulang, ingin dihargai keputusannya, dan ingin diperlakukan baik sebagai seorang manusia, bukan sekadar mesin uang atau pelindung keluarga.

Banyak suami yang sebenarnya hanya butuh kalimat: “Terima kasih ya sudah berusaha”, atau “Maaf kalau aku terlalu keras hari ini”. Kata-kata sederhana yang bisa membasuh luka hati yang ia pendam selama ini.

Karena selama ini, terlalu banyak suami yang hidup dalam tekanan mental. Takut gagal di mata istri, takut kecewakan anak, takut dianggap tak berguna oleh keluarga. Tapi tak pernah berani cerita, karena malu dianggap lemah.

Mengakui Perasaan Bukan Berarti Lemah

Di masyarakat kita, laki-laki seringkali dipaksa kuat. Diajari sejak kecil bahwa laki-laki tak boleh menangis, tak boleh mengadu, tak boleh lembek. Akibatnya, saat dewasa, banyak suami yang gagap menghadapi perasaan sendiri.

Padahal, mengakui rasa sakit bukan berarti lemah. Mengungkapkan kecewa bukan tanda kalah. Suami juga manusia, yang berhak mencintai sekaligus ingin dicintai. Berhak memimpin, sekaligus ingin dihargai.

Tidak ada salahnya bagi istri untuk belajar membaca perasaan suami. Bukan hanya soal uang belanja dan tanggung jawab rumah, tapi juga soal hati yang butuh disapa, jiwa yang perlu dipahami.

Akhirnya…

Rumah tangga bukan soal siapa paling benar, siapa paling kuat, atau siapa paling bisa bicara. Tapi tentang siapa yang paling bisa memahami perasaan satu sama lain. Jangan sampai suami yang selama ini diam, ternyata menanggung luka dalam yang tak pernah istri sadari.

Dan kepada para suami, tak perlu gengsi untuk bicara. Sampaikan rasa lelahmu, kecewamu, rindumu. Karena perasaan yang terus terpendam bisa merusak pelan-pelan.

“Seorang suami boleh kuat di luar, tapi tetap punya ruang rapuh di dalam. Yang di sana, hanya ingin dipahami, bukan dihakimi.”


Azhari