.
Di negeri yang katanya damai pasca konflik, masih saja terjadi perampasan diam-diam atas hak rakyat Aceh. Empat pulau di wilayah Aceh Singkil diduga ‘diambil alih’ oleh Provinsi Sumatra Utara. Anehnya, hingga hari ini suara dari para wakil rakyat di DPRA maupun pejabat tertinggi Aceh nyaris tak terdengar. Padahal ini soal harga diri, soal marwah wilayah, soal batas tanah warisan moyang yang seharusnya dijaga.
Pertanyaannya sederhana: di mana DPRA? Di mana Gubernur Aceh? Kenapa diam? Kenapa tidak bersuara lantang di hadapan publik dan pemerintah pusat? Atau jangan-jangan sibuk dengan urusan proyek dan jabatan, hingga lupa menjaga batas wilayah sendiri?
Ini Bukan Soal Pulau, Tapi Soal Harga Diri
Empat pulau yang diperebutkan itu bukan sekadar sebidang tanah dan pasir. Itu adalah simbol kedaulatan Aceh di wilayahnya sendiri. Ketika pulau-pulau itu dicaplok, berarti yang dirampas bukan cuma daratan, tapi juga martabat. Jika Aceh dulu bisa mempertahankan wilayahnya di hadapan Belanda dan kekuatan asing, masak kini di era otonomi luas, Aceh justru kehilangan pulau oleh provinsi tetangga?
Ironisnya, elit politik Aceh lebih sibuk soal rotasi jabatan, perebutan proyek, dan koalisi kepentingan menjelang Pilkada. Soal batas daerah, soal hak rakyat pesisir Singkil, nyaris tak masuk agenda utama.
Ketakutan atau Kebodohan Politik?
Kalau soal ini hanya karena ketakutan melawan kekuasaan pusat, itu pengkhianatan terhadap sumpah jabatan. Tapi jika karena tidak paham soal hukum batas wilayah, itu artinya kebodohan politik akut yang tak layak dipertahankan.
DPRA dan Gubernur Aceh seharusnya menjadi benteng pertama menjaga kedaulatan daerah. Jangan baru lantang saat kampanye, lalu diam ketika rakyat kehilangan haknya. Pulau-pulau itu, apapun statusnya di atas peta, tetap bagian dari sejarah dan hak Aceh. Jangan biarkan generasi nanti mengenal nama-nama pulau itu sebagai milik daerah lain.
Aceh Tak Butuh Pemimpin Pecundang
Kalau tidak berani bersuara untuk rakyat, lebih baik mundur. Rakyat butuh pemimpin berani, bukan pecundang di balik meja kekuasaan. Aceh sudah cukup lama dipermainkan politik Jakarta. Jangan biarkan wilayahnya sendiri pun hilang karena elit lokal lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan tanah air.
Empat pulau itu memang kecil di peta, tapi besar nilainya untuk harga diri Aceh. Kita tunggu, apakah DPRA dan Gubernur Aceh masih punya nyali atau sekadar boneka politik yang sibuk rotasi jabatan. Jika diam, rakyat Singkil akan tetap ingat, siapa yang mengabaikan mereka.
Karena dalam sejarah Aceh, pengkhianat selalu dikenang — dan bukan dalam doa yang baik.
Semoga Allah SWT berikan kemudahan dan kembali ke Aceh