Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Refleksi MoU Helsinki dan Peran Hasan Tiro: Merdeka atau Damai

Kamis, 05 Juni 2025 | 11:27 WIB Last Updated 2025-06-05T04:27:20Z




Prolog: Di Balik Gema Takbir, Rakyat Bertanya

Di setiap gema takbir Idul Adha di Aceh, sebagian orang mungkin mengenang masa lalu. Ketika dentuman senjata lebih nyaring dari suara beduk. Ketika korban bergelimpangan dan kampung-kampung terbakar. Dan di tengah suasana damai hari ini, sebagian rakyat masih bertanya: apakah kita sudah benar-benar merdeka, atau sekadar berdamai?

Sejarah mencatat, perjanjian damai MoU Helsinki 15 Agustus 2005 menjadi peristiwa paling monumental dalam sejarah konflik Aceh modern. Konflik yang menelan lebih dari 15.000 nyawa itu akhirnya berhenti. Tapi, di balik perdamaian yang dirayakan, ada idealisme perjuangan yang menggantung. Di titik itulah nama Hasan Muhammad di Tiro kembali dipanggil.


Hasan Tiro dan Mimpi Kemerdekaan

Dalam bukunya The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro, sang pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pernah menulis:

"Aceh is not a part of Indonesia. It never was. And it will never be."

Keyakinan itu ditanamkan sejak Hasan Tiro memproklamasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976 di Gunung Halimun, Lhokseumawe. Ia menilai integrasi Aceh ke dalam Indonesia pasca kemerdekaan sebagai pengkhianatan terhadap sejarah Aceh yang dulu adalah kerajaan merdeka dan berdaulat.

Selama 30 tahun lebih, Hasan Tiro hidup di pengasingan, berpindah dari Malaysia, Libya, Sudan, ke Swedia. Di sana, ia menggalang dukungan internasional, membangun jaringan diplomasi kemerdekaan Aceh, sembari tetap memimpin perlawanan bersenjata di tanah kelahirannya.


MoU Helsinki: Antara Kompromi dan Kemenangan

Pasca tsunami 2004 yang menewaskan lebih dari 170.000 jiwa di Aceh, dunia mendesak adanya solusi damai. Pihak Indonesia dan GAM duduk di meja perundingan di Helsinki, Finlandia, di bawah mediasi Crisis Management Initiative (CMI) pimpinan Martti Ahtisaari.

Pada 15 Agustus 2005, lahirlah MoU Helsinki. Poin utamanya:

  • Aceh diberi otonomi khusus.
  • GAM menyerahkan senjata dan membubarkan diri.
  • Aceh berhak membentuk partai lokal.
  • 70% hasil sumber daya alam Aceh dikelola untuk Aceh.
  • Hukum adat dan syariat Islam diakui secara sah.

Namun, tidak semua pihak puas. Sebagian kelompok perjuangan menilai MoU ini hanya kompromi politik. Karena secara prinsip, Aceh tetap bagian dari Indonesia.


Hasan Tiro: Pulang Bukan Karena Kalah

Setelah 29 tahun di pengasingan, Hasan Tiro akhirnya pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008. Saat itu, dalam kondisi renta dan sakit, ia disambut ribuan warga Aceh yang memanggilnya “Wali Nanggroe”.

Dalam pidato singkatnya, ia berkata:

"Perjuangan kita bukan untuk saya pribadi, tapi untuk harga diri orang Aceh."

Keputusan Hasan Tiro untuk pulang sering ditafsirkan sebagai penerimaan atas hasil MoU. Tapi banyak yang percaya, ia kembali untuk memastikan sendiri bahwa rakyat Aceh menikmati damai yang dulu diperjuangkannya.


Dampak MoU di Aceh: Data dan Fakta

✅ Positif:

  • Konflik bersenjata berakhir total.
  • Pemerintah Aceh lebih leluasa mengelola anggaran hingga Rp 8-10 triliun per tahun dari dana Otsus.
  • Infrastruktur kembali dibangun. Jalan nasional, pelabuhan, dan rumah sakit bertumbuh.
  • Partai Aceh (PA) dan partai lokal lain hadir dalam politik lokal.
  • Tingkat kemiskinan turun dari 32% (2005) menjadi 14% (2023).

❌ Problematis:

  • Tingkat pengangguran tetap tinggi, 7,9% (2023) di atas rata-rata nasional.
  • Ketimpangan sosial makin tajam di perkotaan.
  • Korupsi elit lokal marak. Data ICW (2022) mencatat Aceh sebagai provinsi dengan kasus korupsi APBD daerah terbanyak se-Sumatra.
  • Konflik politik antar elit bekas GAM meruncing, berebut jabatan dan proyek.

Narasi Merdeka yang Tak Pernah Mati

Hingga kini, aspirasi kemerdekaan tetap hidup di ruang-ruang diskusi rakyat. Bendera bulan bintang—simbol lama GAM—masih berkibar di pelosok desa meski statusnya belum legal. Lagu-lagu perjuangan dinyanyikan diam-diam.

Pada 2023, survei LSI Denny JA menunjukkan 38% masyarakat Aceh masih menyimpan simpati terhadap wacana referendum. Namun sebagian besar memilih jalan damai melalui politik lokal.


Refleksi: Damai atau Merdeka?

Sejatinya, perjuangan Hasan Tiro bukan soal bendera atau nama negara. Tapi tentang harga diri dan keadilan. Ia pernah berkata:

"Lebih baik miskin di negeri sendiri, daripada kaya di negeri orang."

Kini, di saat Aceh memperoleh dana besar dan kewenangan luas pasca MoU, pertanyaan rakyat justru makin tajam: ke mana arah elite Aceh? Damai tanpa keadilan adalah ilusi, pembangunan tanpa moralitas adalah kemunduran.


Penutup: Wasiat Hasan Tiro yang Belum Selesai

Hasan Tiro wafat 3 Juni 2010 di Banda Aceh. Ia dimakamkan di kompleks keluarga di Lamteumen, Banda Aceh. Di batu nisannya tertulis: “Pahlawan Revolusi Aceh.”

Warisan terbesarnya bukan sekadar GAM atau MoU, tapi kesadaran bahwa Aceh adalah tanah bermartabat. Damai tanpa kehilangan harga diri. Sejahtera tanpa melupakan sejarah.

Aceh hari ini membutuhkan pemimpin yang tidak hanya mengejar proyek dan kursi kekuasaan, tapi yang bisa mewujudkan visi Hasan Tiro: Aceh yang merdeka dalam martabat, damai dalam keadilan, dan sejahtera untuk semua.