Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Empat Pulau, Harga Diri, dan Ujian Kekompakan Aceh dalam Bingkai NKRI

Kamis, 05 Juni 2025 | 12:32 WIB Last Updated 2025-06-05T05:32:47Z





Ketika gema takbir bergema di seluruh penjuru Aceh menyambut Iduladha 2025, rakyat di Aceh Singkil justru menahan sesak di dada. Empat pulau yang sejak dahulu kala menjadi bagian dari Aceh — Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil — secara sepihak ditetapkan menjadi bagian wilayah administratif Sumatera Utara melalui Kepmendagri Nomor 100.2.1.3-2138 Tahun 2024.

Sejatinya, persoalan ini bukan semata soal batas administratif atau pengukuran wilayah. Ini adalah soal harga diri, soal marwah Aceh yang selama ini terbungkus dalam bingkai khusus pasca-damai Helsinki 2005. Ini tentang uji kekompakan rakyat Aceh dalam mempertahankan warisan leluhur dan menjunjung harkat daerah yang penuh darah perjuangan.

Sejarah Tak Boleh Dipermainkan

Aceh bukan daerah biasa di republik ini. Ia menyandang status istimewa, hasil dari perjanjian panjang, konflik berkepanjangan, dan damai yang dibangun dengan air mata serta darah. Perjanjian Helsinki 2005 antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia bukan sekadar menyudahi senjata, tetapi menyepakati sebuah otonomi khusus Aceh dalam kerangka keadilan sejarah.

Di dalam MoU itu, tertulis bahwa Aceh berhak atas pengelolaan wilayah, sumber daya alam, serta budaya dan hukum adatnya. Maka, keputusan sepihak tanpa konsultasi rakyat Aceh — yang kini justru merampas wilayahnya — adalah bentuk pengkhianatan diam-diam terhadap semangat perjanjian damai.

Lebih ironisnya lagi, masyarakat Aceh sudah punya bukti kuat: tugu, mushala, dermaga, hingga pelabuhan nelayan yang selama ini dibangun Pemerintah Aceh dan Aceh Singkil di empat pulau tersebut. Bahkan dokumen perjanjian batas wilayah yang ditandatangani pada 1992 oleh gubernur Aceh dan Sumatera Utara kala itu telah mengukuhkan status pulau-pulau itu sebagai bagian Aceh. Lantas, atas dasar apa empat pulau ini dipindahkan?

Harga Diri yang Dilecehkan

Perpindahan ini bukan sekadar perkara teknis peta. Ia menyentuh ranah harga diri Aceh. Apalagi di saat yang sama, pemerintah pusat seolah menganggap hal ini remeh, menyebutnya sebagai “teknis administratif”. Padahal, di bumi yang pernah berdarah karena menolak penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan, soal tanah adalah soal kehormatan.

Bagi Aceh, kehilangan empat pulau kecil bisa jadi bukan kerugian besar secara ekonomi, tapi fatal secara moral. Karena begitu satu harga diri diinjak, maka menahan luka akan sulit. Sejarah membuktikan, setiap ketidakadilan dan pengkhianatan yang dibiarkan, lambat laun akan melahirkan bara di dada anak-anak negeri.

Uji Kekompakan Aceh

Kini, ujian sesungguhnya bukan hanya untuk pemerintah Aceh, melainkan untuk seluruh elemen masyarakatnya. Akankah para elit politik dan petinggi dayah bersuara, atau justru sibuk dengan agenda pemilu 2029? Akankah ormas-ormas Aceh bersuara lantang, atau hanya berisik saat pilkada? Dan, akankah rakyat Aceh tetap diam, atau mulai menyadari bahwa perlakuan ini bisa menjadi preseden buruk bagi kedaulatan Aceh di masa depan?

Ini adalah saatnya Aceh menunjukkan bahwa yang diwariskan dari para pendahulu bukan hanya kisah kepahlawanan Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar, tetapi keberanian menjaga marwah negeri. Tak perlu berteriak “merdeka” dengan senjata. Cukuplah bersatu dalam satu suara, menyatakan bahwa ketidakadilan ini harus ditinjau ulang.

NKRI atau Merdeka?

Tak bisa dimungkiri, peristiwa ini telah memantik kembali diskusi lama di warung kopi, di meunasah, hingga di kalangan aktivis mahasiswa: apakah NKRI selama ini benar-benar adil kepada Aceh? Apakah status otonomi khusus yang dijanjikan setelah Helsinki benar-benar dihormati? Atau justru hanya formalitas demi meredam konflik bersenjata?

Aceh, dengan segala luka sejarahnya, bisa saja memilih diam, bisa pula menuntut keadilan. Tapi jika ketidakadilan ini terus dibiarkan, wajar jika benih-benih perlawanan ideologis kembali tumbuh di tanah rencong. Bukan lewat senjata, mungkin lewat gerakan politik dan diplomasi internasional. Karena harga diri tak boleh ditawar, apalagi dipermainkan.

NKRI adalah harga mati, itu semboyan nasional. Tapi keadilan untuk semua daerah, termasuk Aceh, juga harga mati. Jika salah satunya diingkari, maka apalah arti sebuah kesatuan jika di dalamnya ada luka yang tak kunjung diobati.

Menutup Luka, Menjaga Damai

Aceh tak pernah anti-NKRI. Damai Helsinki adalah bukti bahwa Aceh ingin bersatu dalam keadilan, bukan dalam pemaksaan. Maka pemerintah pusat wajib membuka ruang dialog terbuka, meninjau ulang keputusan sepihak ini, dan melibatkan masyarakat Aceh secara utuh dalam setiap kebijakan yang menyangkut wilayahnya.

Karena jika tidak, barangkali tak perlu menunggu 100 tahun untuk luka ini membesar dan kembali jadi bara.


[azhari