Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Refleksi Pemuda Aceh — Dari Warisan Luka Menuju Perubahan Berkeadilan

Jumat, 06 Juni 2025 | 02:31 WIB Last Updated 2025-06-05T19:31:50Z




Oleh: Azhari 

Aceh adalah tanah tua yang mewarisi dua hal besar: kebanggaan sejarah dan luka panjang konflik. Di antara dua warisan itu, lahirlah generasi pemuda yang hari ini menghadapi tantangan paling rumit. Mereka dituntut menjadi agen perubahan, tapi hidup di antara sistem yang sering kali tak berpihak kepada keadilan.

Siapa pemuda Aceh hari ini? Apakah hanya anak-anak yang sibuk di kafe, berlomba-lomba viral di media sosial, atau sibuk rebutan posisi di partai politik lokal? Ataukah mereka yang masih memendam idealisme untuk memperjuangkan keadilan rakyat meski jalannya penuh duri?


Pemuda Aceh dan Warisan Luka

Sejarah Aceh adalah sejarah darah dan air mata. Konflik bersenjata, pembunuhan massal, penghilangan paksa, dan kemiskinan struktural mewariskan luka yang masih membekas. Generasi muda hari ini adalah anak-anak yatim konflik, korban ketidakadilan, dan saksi dari pemiskinan sistematis pasca damai.

Di pundak merekalah harapan perubahan digantungkan. Tapi, tanpa arah dan konsep yang jelas, perubahan itu hanya jadi slogan kosong.


Konsep Pemuda untuk Perubahan Berkeadilan

Perubahan berkeadilan bukan hanya soal mengganti siapa yang duduk di kursi kekuasaan. Tapi soal menata ulang sistem sosial, ekonomi, dan politik agar berpihak kepada rakyat kecil, korban konflik, dan generasi muda yang selama ini dipinggirkan.

Ada beberapa hal yang harus menjadi refleksi dan pegangan pemuda Aceh:

  1. Berani Mengkritik dan Mengoreksi Kekuasaan
    Pemuda jangan menjadi pengekor partai atau alat elite politik lokal. Pemuda harus hadir sebagai suara kritis di tengah rakyat. Bukan sekadar sibuk pamer jabatan di foto spanduk.

  2. Membangun Gerakan Sosial Berbasis Rakyat Kecil
    Perubahan sejati lahir dari rakyat. Bukan dari ruang AC hotel-hotel mahal. Pemuda harus turun ke kampung-kampung, menata ekonomi mikro, pendidikan dayah, dan gerakan advokasi sosial.

  3. Menyatukan Idealime Agama dan Keadilan Sosial
    Aceh adalah negeri syariat, tapi syariat bukan hanya soal pakaian dan rajam. Syariat harus dimaknai sebagai keadilan bagi fakir miskin, anak yatim, dan korban kezaliman. Pemuda Aceh harus mengawal ini.

  4. Berani Membongkar Mentalitas Proyek dan Transaksional
    Aceh hari ini rusak bukan karena konflik, tapi karena pasca damai yang dipenuhi elite-elite proyek. Pemuda jangan ikut-ikutan. Harus berani jadi generasi bersih yang bicara soal keadilan, bukan soal fee dan tender.


Penutup: Pemuda, Harapan atau Pelengkap?

Pertanyaan besarnya: apakah pemuda Aceh hari ini mau menjadi harapan perubahan atau sekadar pelengkap pesta politik lima tahunan? Apakah mau jadi pejuang keadilan atau justru jadi generasi penjilat baru?

Perubahan itu soal keberanian. Dan Aceh butuh pemuda yang tidak hanya pintar, tapi juga punya keberanian moral. Karena tanpa itu, damai akan tinggal damai. Elite tetap elite. Rakyat tetap miskin. Dan sejarah kita kembali jadi daftar luka tanpa makna.

Aceh tidak butuh pemuda yang hanya pandai bicara. Tapi pemuda yang mau kotor tangan, turun ke jalan, dan berani berkata benar di depan kekuasaan.

Refleksi ini untuk kita semua. Aceh butuh kita. Bukan nanti. Tapi sekarang.