Oleh: Azhari
Di tengah geliat ekonomi modern yang semakin cair dan instan, satu persoalan klasik justru makin merajalela tanpa banyak disadari: perputaran uang riba di dalam masyarakat. Istilah riba seakan hanya terdengar di atas mimbar Jumat atau ruang-ruang pengajian, namun di balik kehidupan harian, praktik riba justru hidup subur di tengah ekonomi rakyat. Anehnya, masyarakat merasa biasa saja, padahal perputaran uang riba bukan sekadar soal ekonomi, melainkan persoalan moral, hukum, dan ancaman bagi keberkahan hidup.
Riba Tak Lagi Malu-Malu
Saat ini, uang riba bukan hanya berputar di lembaga keuangan konvensional yang terang-terangan mengenakan bunga pinjaman. Lebih dari itu, praktik riba hadir dalam bentuk rentenir, bank keliling, pinjaman online berbunga mencekik, hingga transaksi antar individu yang menetapkan bunga atas pinjaman. Ironisnya, dalam masyarakat Aceh yang dikenal sebagai daerah bersyariat, praktik semacam ini tetap hidup dan bahkan dianggap hal lumrah.
Di warung kopi, di pasar, bahkan di komunitas desa, perputaran uang hasil riba mengalir tanpa pengawasan. Uang hasil pinjaman berbunga digunakan untuk modal usaha, biaya hajatan, membeli kendaraan, hingga membangun rumah. Lalu hasil dari aktivitas itu kembali diputar, sebagian dipakai untuk membayar bunga pinjaman, sebagian lainnya untuk konsumsi. Begitulah siklusnya.
Dampak Sosial: Memupuk Ketimpangan, Menyuburkan Kemiskinan
Dampak sosial dari perputaran uang riba amat nyata, meskipun kerap luput dari perhatian. Masyarakat terjebak dalam lingkaran utang yang tak berkesudahan. Ketika penghasilan habis untuk membayar bunga, bukan hanya ekonomi keluarga yang goyah, tapi martabat dan ketenangan hidup juga hancur. Rentenir dan pinjol berbunga mencekik menjadikan banyak kepala keluarga hidup dalam tekanan, sebagian jatuh ke lembah kriminalitas, sebagian lagi memilih bunuh diri.
Lebih berbahaya, perputaran uang riba melahirkan ketimpangan ekonomi yang makin lebar. Segelintir orang yang menjadi pemilik modal berbunga menikmati keuntungan berlipat-lipat tanpa usaha produktif, sementara para peminjam terus terpuruk. Inilah sistem yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya karena menciptakan ketidakadilan struktural dalam masyarakat.
Dampak Hukum: Dosa Besar dan Ancaman Kehancuran
Dalam hukum Islam, riba adalah dosa besar yang diancam dengan kemurkaan Allah. Rasulullah SAW bersabda:
"Riba itu memiliki 73 pintu, dan yang paling ringan (dosanya) adalah seperti seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri."
(HR. Al-Hakim)
Tidak hanya pelaku, penerima, penulis, hingga saksi transaksi riba juga ikut berdosa. Rasulullah SAW bersabda:
"Allah melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat, dan kedua saksinya."
(HR. Muslim)
Lebih jauh, perputaran uang riba mengundang kehancuran suatu masyarakat. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah."
(QS. Al-Baqarah: 276)
Artinya, keberkahan akan dicabut dari harta yang bersumber dari riba. Meskipun secara lahiriah kekayaan tampak bertambah, namun hakikatnya keberkahan hidup, ketenangan hati, dan kesehatan sosial masyarakat pelan-pelan direnggut.
Refleksi: Riba di Aceh, Syariat yang Tak Tegak Sempurna
Sebagai daerah yang mengklaim menjalankan syariat Islam, Aceh seharusnya menjadi wilayah terdepan dalam pemberantasan praktik riba. Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) telah diundangkan, dan semua perbankan konvensional resmi ditutup. Namun, di akar rumput, perputaran uang riba lewat jalur informal tetap menggurita. Sayangnya, hukum hanya keras ke atas kertas, tapi tumpul di lapangan.
Tanpa keberanian penegakan hukum di tingkat desa, pasar, dan lingkungan masyarakat kecil, riba akan tetap hidup di balik slogan-slogan syariat. Lebih fatal, generasi muda akan terbiasa memandang riba sebagai hal biasa, karena melihat orang tua dan tetangga mempraktikkannya tanpa sanksi sosial atau hukum.
Penutup: Saatnya Menutup Pintu Riba dari Hulu ke Hilir
Saya berpendapat, bila ingin mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan penuh berkah, Aceh harus membersihkan perputaran uang riba secara total, baik dari lembaga formal maupun jalur informal. Pemerintah bersama ulama dan masyarakat adat perlu bersinergi untuk:
- Membasmi rentenir dan pinjaman berbunga di desa-desa.
- Mendirikan koperasi syariah berbasis dayah dan masjid.
- Mendorong edukasi ekonomi syariah sejak sekolah dasar.
- Mengaktifkan qanun anti-riba hingga ke level gampong.
Hanya dengan langkah nyata, Aceh bisa menjadi contoh bagaimana syariat bukan sekadar aturan, tapi sistem hidup yang adil dan menyejahterakan.
Karena selama riba terus berputar di tengah masyarakat, jangan pernah berharap kesejahteraan dan keberkahan akan hadir di negeri ini.
Wallahu a'lam.