Aceh bukan bangsa kecil, bukan pula bangsa penakut yang rela diinjak tanpa perlawanan. Sejarah mencatat, Aceh adalah negeri para sultan, ulama pejuang, dan syuhada yang memilih gugur di medan jihad ketimbang tunduk di bawah tirani. Darah perlawanan itu masih mengalir di tubuh anak cucu bangsa ini.
Namun hari ini, kekuatan itu tercerai berai.
Kita sibuk bertikai soal jabatan, soal kepentingan, soal siapa yang paling hebat di podium, sementara hak-hak Aceh perlahan dirampas. Janji otonomi khusus, kekayaan alam, hingga harga diri di forum nasional, dicabut sedikit demi sedikit tanpa suara kita.
Inilah saatnya kita satukan kembali kekuatan bangsa Aceh.
Bukan sekadar bersatu di spanduk dan ucapan selamat ulang tahun provinsi. Tapi bersatu dalam visi besar: Aceh yang berdaulat, bermartabat, dan punya kendali atas tanah dan lautnya sendiri.
Bangsa Aceh harus mulai bicara dalam satu suara.
Para ulama, tokoh adat, pemuda, aktivis, akademisi, hingga orang kampung harus kembali duduk dalam satu barisan, bukan saling menjatuhkan. Perbedaan pandangan itu wajar, tapi arah perjuangan harus satu: untuk harga diri Aceh.
Jika bangsa ini ingin dihormati di Jakarta, di Asia, hingga dunia, maka ia harus tegak dulu di negerinya sendiri.
Aceh harus berani merumuskan masa depannya tanpa dikendalikan orang luar. Aceh harus punya keberanian menegaskan bahwa jika keadilan tak bisa didapat dalam persatuan, maka jalan lain harus dipilih.
Karena bangsa Aceh bukan bangsa pengemis.
Kita adalah bangsa yang dulu memberi perlindungan bagi kapal asing, membantu bangsa lain merdeka, dan dihormati oleh Turki Utsmani. Hari ini, kita punya hak penuh menentukan nasib kita.
Gerakan moral, gerakan intelektual, dan gerakan rakyat harus kembali hidup.
Bukan untuk merusak negeri, tapi untuk menyelamatkan Aceh dari tangan-tangan yang terus mempreteli hak kita.
Bangkitlah bangsa Aceh. Satukan kekuatan. Jangan tunggu sampai marwah ini benar-benar habis dibeli.
Aceh terlalu mulia untuk dibungkam.
Aceh terlalu besar untuk dilupakan.
Dan Aceh terlalu bersejarah untuk dibiarkan jadi provinsi biasa.
Bergeraklah — karena kemerdekaan itu bukan soal bendera semata, tapi soal harga diri sebuah bangsa di tanah leluhurnya sendiri.