Lebaran Idul Adha 2025: Ayah Pergi Selamanya, Kerinduan Ananda
Di bawah langit malam yang merintik, takbir menggema dari surau-surau kecil hingga masjid raya. Suara takbir itu seharusnya jadi suara yang membahagiakan, suara yang memanggil umat untuk merayakan kemenangan keimanan, seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi malam ini, gema takbir justru menjadi pisau paling tajam yang mengoyak dada saya.
Lebaran Idul Adha 2025, tahun pertama tanpa Ayah.
Aku menatap kursi kosong di ruang tamu, kursi usang bermotif kayu jati yang selalu jadi tempat Ayah duduk selepas salat Ied. Di sana biasanya Ayah menyambut setiap tamu, membagikan senyum, tawa, dan cerita-cerita tentang kisah kurban yang selalu beliau ulang dari tahun ke tahun. Kini, kursi itu tetap di sana, tapi sosok pemiliknya telah kembali ke pangkuan Sang Khalik.
Ayah dan Tradisi Idul Adha
Ayah bukan orang yang banyak berkata-kata. Ia tak suka berpetuah panjang lebar, tapi tiap perbuatannya selalu jadi teladan tanpa perlu banyak ucapan. Idul Adha bagi Ayah bukan sekadar perayaan, bukan sekadar soal sapi, kambing, atau daging yang dibagi. Lebih dari itu, kurban adalah peringatan tentang betapa fana dunia ini, dan tentang pentingnya mengalahkan ego.
"Nanda," katanya waktu itu, "kurban bukan soal berapa ekor sapi yang bisa kita sembelih. Tapi berapa banyak amarah yang bisa kita taklukkan. Berapa banyak keikhlasan yang bisa kita serahkan. Karena sebaik-baik kurban adalah yang berasal dari hati yang rela."
Saya ingat jelas bagaimana Ayah selalu memastikan hewan kurban di rumah diperlakukan baik sebelum penyembelihan. Ayah tak pernah membiarkan hewan itu lapar atau kehausan. Beliau bahkan mengusap kepala sapi itu seakan berbicara, seolah menyampaikan maaf dan terima kasih atas pengorbanannya.
Dan setelah salat Idul Adha, Ayah akan duduk di teras, menyalakan rokok lintingannya, menunggu giliran penyembelihan dengan wajah tenang. Di sana, kami berbincang tentang apa saja — tentang hidup, tentang masa depan, tentang kesabaran, tentang Nabi Ibrahim dan Ismail, tentang keikhlasan.
Saya tak tahu waktu itu, obrolan ringan itu akan jadi obrolan terakhir kami di Idul Adha. Saya tak tahu bahwa setahun berikutnya, Ayah tak akan ada di sana.
Lebaran Tanpa Ayah
Hari ini, Lebaran datang tanpa salam Ayah, tanpa pelukannya, tanpa senyum tulusnya yang selama ini jadi sumber kekuatan saya. Saya hanya bisa datang ke pusara, menyapa tanah, membacakan doa yang terangkai dari kata-kata sederhana. Entah apakah Ayah bisa mendengar. Entah apakah ruh Ayah hadir saat saya berbicara pelan di tepi makamnya. Tapi saya percaya, cinta tak pernah benar-benar mati. Ia hanya berpindah, dari dunia nyata ke dalam ruang-ruang doa dan ingatan.
Saya menyadari bahwa Idul Adha kali ini benar-benar mengajarkan saya tentang makna kehilangan. Tentang sepi yang tak bisa diisi oleh apapun. Saya belajar bahwa tak semua Lebaran harus dirayakan dengan tawa. Ada Lebaran yang hadir bersama tangis, bersama kerinduan, bersama kenangan-kenangan yang tak bisa diulang.
Tahun ini, saya menyembelih ego. Saya menyembelih amarah pada takdir. Saya menyembelih rasa kecewa yang sempat menyelinap karena Allah mengambil Ayah begitu cepat. Saya mencoba ikhlas, meski di hati masih banyak ruang yang hampa.
Pelajaran dari Nabi Ibrahim
Saya teringat kisah Nabi Ibrahim. Bagaimana beratnya perintah Allah untuk mengorbankan putra tercinta, Ismail. Tapi Nabi Ibrahim tak ragu, karena keyakinannya melebihi rasa cintanya pada dunia. Itu bukan soal perintah biasa. Itu soal melepas apa yang paling disayangi demi cinta kepada Sang Pencipta.
Saya rasa, peristiwa ini juga menjadi bentuk kurban saya. Allah ingin saya belajar melepas orang yang paling saya sayangi, Ayah, demi hikmah yang belum saya pahami sekarang. Mungkin, Allah ingin saya jadi lebih dewasa. Mungkin Allah ingin saya lebih sering berdoa. Mungkin, Allah ingin saya belajar bahwa cinta terbesar itu bukan kepada sesama manusia, tapi kepada Dia yang menciptakan manusia.
Seperti Nabi Ibrahim, saya mencoba patuh. Meski berat, meski tiap malam saya menangis diam-diam di sudut kamar, saya belajar berkata "inna lillahi wa inna ilaihi raji’un" dengan sungguh-sungguh.
Kerinduan yang Tak Pernah Tamat
Rindu pada orang tua yang telah tiada adalah rindu yang paling menyakitkan. Ia tak bisa dikirim lewat pesan singkat, tak bisa dipanggil lewat telepon, tak bisa dipeluk kapan saja. Yang bisa kita lakukan hanya mendoakan. Dan kadang, rasanya itu tak cukup.
Saya rindu mendengar suara Ayah memanggil saya di pagi Lebaran. Rindu melihatnya sibuk menata daging kurban, tertawa lepas ketika anak-anak kecil berebut bagian hati sapi. Rindu mendengarnya memarahi kami karena terlambat ke masjid. Semua itu kini tinggal potongan-potongan kenangan yang berputar di kepala saat takbir menggema.
Di pusara Ayah, saya bicara pelan: "Ayah, Idul Adha kali ini kami tetap kumpul. Daging kurban sudah dibagi. Doa-doamu masih kami kenang. Dan meski Ayah tak lagi di sini, cinta Ayah tetap hidup di dada kami."
Tentang Takdir dan Keikhlasan
Kehilangan adalah bagian dari hidup yang paling sulit diterima. Apalagi saat ia datang tiba-tiba, tanpa aba-aba. Tapi justru di situlah makna sebenarnya dari keikhlasan. Bahwa apapun yang kita miliki, termasuk orang tua, bukan milik kita sepenuhnya. Kita hanya dititipi untuk waktu yang sebentar.
Seperti hewan kurban yang dipelihara baik-baik, lalu disembelih saat waktunya tiba. Begitu pula Ayah. Allah menitipkannya pada saya selama beberapa dekade. Memberi cinta, kasih, dan keteladanan. Lalu, saat waktu-Nya tiba, Dia mengambilnya kembali. Dan saya harus rela.
Saya menyadari kini, Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih sapi atau kambing. Tapi tentang menyembelih rasa kepemilikan, tentang melepaskan apa yang kita cintai, tentang berani berkata: "Ya Allah, meski berat, aku ikhlas."
Penutup: Doa Ananda di Hari Raya
Lebaran Idul Adha 2025 akan saya kenang sebagai lebaran paling sunyi. Tapi juga lebaran paling bermakna. Karena di hari ini, saya belajar tentang arti cinta yang tak bisa disandarkan selamanya pada manusia. Tentang ikhlas, tentang sabar, tentang keteguhan hati.
Saya ingin berpesan pada siapa pun yang hari ini masih bisa memeluk Ayahnya, masih bisa mendengar suaranya, masih bisa mencium tangannya di pagi Lebaran: jangan pernah abaikan momen itu. Karena sekali waktu berlalu, yang tersisa hanya ingatan, doa, dan kerinduan.
Kepada Ayah di sana, selamat jalan. Doa-doa kami akan terus mengalir, tak hanya di Idul Adha, tapi di setiap sujud kami, di setiap malam sunyi, di setiap waktu rindu datang tak tertahankan.
Ayah, di sini kami tetap berlebaran. Meski tanpa hadirmu, kami percaya cinta itu tak pernah benar-benar pergi. Hanya berpindah bentuk, dari pelukan menjadi doa. Dari sapaan menjadi kenangan. Dari tawa menjadi air mata yang diam-diam jatuh saat takbir malam mengudara.