Dalam dunia politik Indonesia, tim sukses kerap menjadi pilar penting di balik layar kemenangan seorang kandidat. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan materi demi satu tujuan: mengantarkan calon pilihannya duduk di kursi kekuasaan. Namun, cerita pahitnya, setelah kemenangan diraih, tak semua timses memperoleh balasan setimpal atas perjuangannya. Ada yang diberi ruang, tapi tak sedikit pula yang dilupakan.
Politik: Tentang Siapa yang Dipakai, Siapa yang Ditinggalkan
Realitasnya, politik bukan soal balas budi. Ia tentang siapa yang bisa bertahan dalam pusaran kekuasaan, siapa yang bisa terus menjaga akses, dan siapa yang akhirnya tersingkir. Banyak timses yang setelah pemilu selesai, seperti barang bekas yang sudah tak diperlukan lagi. Mereka yang dulu dielu-elukan, dipeluk-peluk saat kampanye, mendadak jadi orang asing di mata penguasa baru.
Hasrat kekuasaan yang gagal tak selalu karena kalah dalam pemilu. Kadang justru ketika menang, ada harapan pribadi yang tak tercapai. Ingin jabatan strategis, ingin proyek, ingin posisi elite — yang ternyata tak kesampaian. Di sinilah luka batin timses bermula. Mereka merasa telah memberikan segalanya, tapi dilupakan begitu saja.
Dosa Politik: Janji yang Tak Ditunaikan
Di setiap kontestasi, janji politik berseliweran, termasuk janji kepada tim sukses. "Nanti ada posisi buat kamu", "kita bangun ini bareng", "proyek A aku kasih ke kamu", dan sebagainya. Tapi saat kekuasaan di tangan, prioritas berubah. Yang dulu dianggap kawan seperjuangan, berganti jadi beban politik, atau bahkan ancaman.
Kenyataannya, timses adalah kendaraan politik sekali pakai. Setelah menang, tim dirombak, yang duduk di sekitar penguasa adalah mereka yang bisa memberikan stabilitas kekuasaan, atau yang punya daya tawar politik lebih tinggi. Di sini timses gagal bersaing. Mereka hanya pejuang lapangan, bukan pemain strategis. Maka jadilah mereka bagian dari cerita getir politik: pejuang yang dilupakan.
Saatnya Move On: Politik Tak Sekadar Kekuasaan
Bagi para timses yang hasratnya gagal, move on adalah pilihan waras. Jangan letakkan harga diri di tangan orang yang hanya butuh saat kampanye. Jangan gantungkan hidup pada janji kekuasaan. Politik itu dinamis, siapa tahu lima tahun ke depan justru Anda yang jadi calon.
Belajarlah dari kekecewaan. Timses harus cerdas memosisikan diri, bukan sekadar pejuang slogan, tapi juga pemain yang punya kapasitas. Kalau ingin dihargai, jangan sekadar jadi penjilat atau penghibur di posko pemenangan. Jadilah orang yang bisa menawarkan gagasan dan solusi, bukan sekadar teriak-teriak di jalanan.
Dalam politik, tidak semua perjuangan dibayar lunas, tidak semua janji ditepati, dan tidak semua harapan berujung kemenangan. Timses dan hasrat yang gagal adalah bagian dari sejarah politik di mana ambisi pribadi seringkali berbenturan dengan realitas kekuasaan. Jangan terlalu berharap pada politik yang transaksional. Karena pada akhirnya, yang tersisa bukan posisi, tapi reputasi dan harga diri.
Jangan sekadar jadi tim sukses, jadilah orang yang sukses.