Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Hidup dan Manfaat untuk Masyarakat: Saatnya Menjadi Manusia yang Berguna

Minggu, 27 Juli 2025 | 23:44 WIB Last Updated 2025-07-27T16:46:26Z



Di tengah cepatnya perubahan zaman, derasnya arus informasi, dan kuatnya dorongan hidup individualistik, ada satu pertanyaan penting yang seharusnya terus menggema dalam hati nurani kita: untuk apa kita hidup? Apakah semata untuk mengejar kenyamanan pribadi? Atau ada sesuatu yang lebih luhur, yaitu menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain?

Pertanyaan ini bukan sekadar kontemplasi filosofis, melainkan panggilan hidup yang konkret. Di saat bangsa ini menghadapi beragam persoalan — dari ketimpangan sosial, kemiskinan, degradasi moral, hingga krisis kepemimpinan — kehadiran individu-individu yang mampu memberi manfaat nyata kepada masyarakat menjadi sangat mendesak.

Hidup yang Hanya untuk Diri Sendiri Adalah Hidup yang Sempit

Di berbagai forum, kita kerap mendengar kalimat bijak, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain." Dalam Islam, hadits Nabi SAW menyebut: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR. Ahmad, Thabrani, dan Daruquthni).

Kebijaksanaan ini menegaskan bahwa ukuran keberhasilan hidup bukan pada harta, kekuasaan, atau popularitas, melainkan pada kebermanfaatan. Namun, realitas sosial kita justru sering kali mendorong orang untuk hidup individualis, mengejar sukses pribadi, dan abai pada persoalan sekelilingnya.

Banyak dari kita hidup layaknya menara gading — tinggi menjulang, tapi jauh dari masyarakat. Padahal, hidup yang sejati adalah hidup yang hadir, yang menyentuh, yang membantu dan menggerakkan.

Membumikan Makna Hidup: Dari Warga Biasa Hingga Pemimpin

Menjadi manusia bermanfaat bukan berarti harus menjadi tokoh besar. Seorang ibu rumah tangga yang sabar mendidik anak-anaknya dengan akhlak yang baik, petani yang bekerja tanpa pamrih menyediakan pangan bagi negeri, atau nelayan yang setia melaut demi kehidupan keluarganya — semuanya adalah pahlawan kebaikan yang mungkin tak disebut di buku sejarah, tapi sangat berarti bagi masyarakat.

Di Aceh, kita masih menyaksikan warisan kearifan lokal yang menekankan "meusyuhu", gotong royong, dan hidup saling menolong. Budaya "peumulia jamee" (memuliakan tamu), "bek ta peugah le" (jangan menyombongkan diri), atau nilai "keude adat" (musyawarah kampung) adalah bagian dari bentuk hidup yang tidak hanya memikirkan diri sendiri, tapi juga memikirkan maslahat bersama.

Sayangnya, nilai-nilai ini mulai terkikis oleh budaya egoisme baru. Jabatan menjadi alat memperkaya diri, kekuasaan jadi senjata memperalat orang, dan pendidikan tinggi tidak selalu sejalan dengan kepedulian sosial. Kita lupa bahwa seharusnya, semakin tinggi posisi seseorang, semakin besar pula tanggung jawabnya untuk memberi manfaat.

Manfaat Sosial Sebagai Ukuran Kepemimpinan

Kita sering bertanya, bagaimana mengukur kualitas seorang pemimpin? Jawabannya sederhana: lihat sejauh mana ia memberi manfaat nyata kepada rakyatnya. Bukan sekadar retorika, bukan sekadar citra di media, tapi bukti konkret: apakah masyarakat hidup lebih baik karenanya?

Seorang bupati, wali kota, anggota dewan, atau kepala dinas — bila jabatannya tidak memberi perubahan berarti, maka ia sejatinya hanya menjadi “pengisi posisi”, bukan pemimpin sejati. Pemimpin sejati adalah mereka yang setiap keputusannya berakar pada nilai kemaslahatan umum.

Aceh, misalnya, memiliki banyak potensi untuk menjadi wilayah maju dan mandiri. Tapi potensi itu hanya bisa diubah menjadi kesejahteraan bila ada manusia-manusia yang hidupnya diabdikan untuk kebaikan bersama, bukan untuk proyek pribadi.

Menjadi Pelita di Tengah Kegelapan Sosial

Bangsa ini, dan juga daerah-daerah seperti Aceh, membutuhkan lebih banyak pelita — orang-orang yang rela mengorbankan waktu, tenaga, dan ilmunya demi menolong yang lemah, menguatkan yang rapuh, dan memberdayakan yang tak punya suara.

Kita tidak butuh banyak pejabat yang bicara soal moral, tapi tidak hidup bermoral. Kita butuh figur teladan: dosen yang mengajar dengan integritas, santri yang membawa cahaya Islam dalam praktik sosial, aktivis yang mengawal hak-hak rakyat kecil, hingga pemuda desa yang mau kembali membangun kampung halamannya.

Kita semua bisa menjadi pelita. Tidak harus menunggu kaya, berpendidikan tinggi, atau punya kekuasaan. Cukup mulai dari hal-hal kecil: membantu tetangga yang kesulitan, mengajar anak-anak mengaji, membersihkan lingkungan, atau menyuarakan keadilan melalui media sosial secara bijak.

Warisan: Apa yang Kita Tinggalkan?

Kematian adalah keniscayaan. Pertanyaannya, apa yang kita tinggalkan setelah kita tiada?

Sebagian meninggalkan warisan harta, sebagian meninggalkan bangunan, sebagian hanya meninggalkan masalah. Tapi mereka yang hidup dengan memberi manfaat, akan meninggalkan warisan kebaikan: ilmu yang berguna, anak-anak yang saleh, jejak moral yang membekas, atau masyarakat yang bangkit karena perjuangannya.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19)

Lupa kepada Allah sering kali berujung pada lupa makna hidup. Dan makna hidup itu salah satunya adalah: mewakafkan diri untuk kemaslahatan sesama.

 Saatnya Memilih untuk Hidup yang Bermakna

Kini, kita berada di titik refleksi: apakah hidup kita telah memberi manfaat bagi orang lain? Atau hanya sibuk dengan urusan diri sendiri?

Setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi manfaat, sekecil apapun. Mulailah dari lingkungan terkecil, dari niat yang tulus, dan dari tindakan sederhana.

Hidup terlalu singkat jika hanya dihabiskan untuk mengejar ambisi pribadi. Tetapi hidup akan menjadi abadi, jika diisi dengan kontribusi bagi orang banyak.

Karena pada akhirnya, yang dikenang bukanlah siapa kita, tapi apa manfaat yang telah kita berikan.

Penulis 

Azhari