Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Jejak Kuburan Orang Tua Kita yang Hilang di Mata Cucu di Era Digital

Kamis, 24 Juli 2025 | 00:59 WIB Last Updated 2025-07-23T17:59:27Z

 Jejak Kuburan Orang Tua Kita yang Hilang di Mata Cucu di Era Digital



Oleh: Azhari 


Di era digital hari ini, dunia terasa begitu dekat lewat layar ponsel. Jarak bukan lagi penghalang untuk terhubung, informasi mengalir tanpa henti, dan perhatian manusia lebih tertuju pada notifikasi daripada pada nilai-nilai yang menumbuhkan jiwa. Di tengah arus modernisasi dan kesibukan zaman, ada satu kehilangan yang pelan-pelan tapi pasti terjadi: hilangnya jejak kuburan orang tua kita — ibu dan ayah — dari pandangan cucu-cucunya.

Hari ini, berapa banyak anak yang tumbuh tanpa tahu di mana pusara nenek dan kakeknya?
Berapa banyak cucu yang sibuk bermain TikTok, tapi tak pernah sekali pun diajak ziarah ke makam leluhurnya?
Berapa banyak anak yang membiarkan nisan ibu dan ayahnya dimakan lumut, digusur bangunan, atau bahkan dijual bersama tanah warisan tanpa rasa haru?


Dari Tanah Air Mata ke Tanah Komersial

Dulu, makam orang tua adalah tempat sakral. Ia diziarahi, dibersihkan, dan dijadikan tempat muhasabah. Anak-anak datang bersama keluarga besar, menabur bunga, membaca doa, dan menyambung silaturahmi batin antara yang hidup dan yang telah tiada.

Kini, banyak yang berubah. Makam bergeser dari tanah air mata menjadi tanah komersial. Lahan-lahan dijual, bahkan ketika di bawahnya ada tubuh ibu atau ayah yang dulu melahirkan dan membesarkan dengan cinta. Tak ada lagi upaya menjaga, tak ada lagi pesan suci yang diwariskan.

Sementara itu, anak-anak generasi baru tak lagi diajak mengenal siapa kakek dan neneknya. Mereka tahu idol Korea, tahu bintang TikTok, tapi tak tahu siapa nama kakeknya yang dikubur hanya 10 km dari rumahnya.


Era Digital dan Putusnya Jejak Spiritual

Kecanggihan teknologi semestinya bisa memperkuat tradisi dan nilai spiritual. Namun ironisnya, era digital justru mengikis ruang-ruang ziarah dan mengenang.
Orang lebih sibuk memotret makanan di kuburan daripada membaca doa. Ziarah dijadikan konten, bukan renungan.
Kuburan orang tua tidak lagi masuk dalam prioritas peta hidup, kalah dengan jadwal liburan, rapat daring, atau konten trending.

Lebih dari itu, kita gagal mewariskan rasa hormat kepada generasi berikutnya. Anak-anak kita tidak tahu di mana kuburan ibu kita — karena kita sendiri jarang ke sana. Kita tidak ajarkan mereka untuk mendoakan nenek dan kakek mereka — karena kita terlalu sibuk mengejar urusan dunia yang tak habis-habis.


Kuburan: Simbol Cinta yang Harus Dijaga

Pusara orang tua bukan hanya tempat tubuh terbaring. Ia adalah simbol cinta, jejak pengorbanan, dan pengingat bahwa hidup ini akan berakhir.
Ziarah adalah warisan spiritual yang mengakar dalam budaya Islam. Bukan sekadar ritual, tapi sarana menghubungkan hati dengan akhirat. Ia mengajarkan anak-anak tentang kematian, tentang silsilah keluarga, dan tentang doa yang tak pernah sia-sia.

Membiarkan kuburan orang tua hilang, terlantar, bahkan dilupakan oleh cucu-cucunya, adalah bentuk pengkhianatan terhadap warisan cinta.
Sebagai anak, kita punya tanggung jawab untuk menjaga nama, kehormatan, dan pusara orang tua kita. Sebagai orang tua, kita punya tanggung jawab untuk mengenalkan anak-anak pada asal-usul mereka.


Warisan Bukan Hanya Harta, Tapi Doa yang Terjaga

Kita begitu sibuk menyiapkan warisan harta untuk anak-anak kita. Tapi lupa, warisan spiritual jauh lebih penting: yaitu kebiasaan mendoakan leluhur dan menjaga pusaranya.
Apa gunanya rumah mewah, rekening gemuk, jika anak-anak kita tumbuh tanpa tahu siapa yang memperjuangkan darah yang mengalir dalam tubuh mereka?

“Nak, ini makam nenekmu. Di sini dia terbaring setelah melahirkan ayahmu dengan air mata dan cinta. Bacakanlah doa, jangan lupakan dia dalam hidupmu.”

Sebuah kalimat sederhana yang mungkin lebih berharga daripada seribu ceramah. Karena dari situlah anak belajar mengenang, mencintai, dan mengakar dalam tradisi keimanan.


Penutup: Mari Wariskan Doa, Bukan Lupa

Zaman boleh berubah. Teknologi boleh semakin canggih. Tapi jangan sampai kita mewariskan generasi yang gagap sejarah, lemah spiritual, dan kehilangan koneksi dengan akar keluarganya.
Jangan sampai anak-anak kita tumbuh dalam rumah ber-AC, tapi tak tahu di mana neneknya dikuburkan. Jangan sampai mereka punya drone dan GPS, tapi tak mampu menemukan jalan ke makam orang tuanya sendiri.

“Nak, jangan hilangkan jejak kuburan ibu dan ayah kami di mata anak-anakmu. Karena saat kau melupakan mereka, suatu hari nanti anak-anakmu bisa saja melupakanmu juga.”


Karena cinta yang paling sejati adalah yang tetap dijaga, bahkan setelah jasad dikubur dan nama tak lagi disebut. Mari rawat jejak itu. Untuk ibu. Untuk ayah. Untuk generasi kita yang akan datang.