Aceh, negeri di ujung barat Nusantara, bukan hanya dikenal sebagai Serambi Mekah, tapi juga sebagai titik awal perjalanan banyak pelaut, ulama, saudagar, dan diplomat yang meninggalkan jejaknya ke berbagai penjuru dunia. Sejarah Aceh adalah sejarah pelayaran, penjelajahan, dan perjuangan. Di balik kisah perlawanan terhadap kolonialisme, tersimpan pula kisah-kisah petualang Aceh yang menembus batas samudra dan meretas peradaban.
Darah Petualang dalam Nadi Bangsa Aceh
Sejak abad ke-15, Kesultanan Aceh Darussalam telah menjadi pusat perdagangan internasional. Letaknya yang strategis membuatnya bersinggungan langsung dengan kapal-kapal dari Arab, Persia, India, Tiongkok, hingga Eropa. Tapi Aceh bukan sekadar pelabuhan persinggahan; ia juga melahirkan manusia-manusia pemberani yang menjelajahi dunia — baik untuk berniaga, menuntut ilmu, berdiplomasi, hingga berjuang dalam jihad fisabilillah.
Nama-nama seperti Syekh Abdurrauf As-Singkili yang menimba ilmu hingga ke Mekkah dan Madinah selama dua dekade, lalu kembali ke Aceh untuk menjadi mufti kesultanan, adalah contoh bahwa petualangan intelektual Aceh telah mengukir sejarah global.
Aceh dan Jejak Internasionalnya
Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607–1636), Aceh mengirimkan duta ke Turki Utsmani, Persia, bahkan Belanda. Kapal-kapal Aceh pernah berlayar ke Laut Merah dan Teluk Persia untuk menjalin hubungan diplomatik dan mengatur aliansi melawan musuh-musuh bersama. Duta Aceh hadir dalam konferensi diplomatik dan membawa harum nama negeri yang dikenal tangguh dan religius ini.
Aceh bahkan tercatat dalam arsip-arsip kerajaan Inggris dan Belanda sebagai kekuatan maritim yang disegani. Jejak petualang Aceh tersimpan dalam manuskrip, peta kuno, serta catatan harian pelaut asing yang menjumpai "orang-orang Aceh yang pemberani dan cerdas".
Petualangan dalam Ilmu dan Dakwah
Selain jalur perdagangan dan diplomasi, petualangan Aceh juga mewujud dalam jalur dakwah dan pendidikan. Banyak ulama Aceh yang berdakwah ke Semenanjung Melayu, Palembang, Patani, hingga Afrika Utara. Mereka menanamkan nilai-nilai Islam, mengajarkan ilmu fikih, tasawuf, dan tafsir, serta mendirikan pesantren.
Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, misalnya, bukan hanya seorang pejuang, tapi juga seorang musafir ilmu yang sempat belajar ke berbagai dayah dan wilayah luar Aceh. Jiwanya adalah jiwa petualang — tak hanya menaklukkan medan perang, tapi juga samudra makna dalam ilmu agama.
Refleksi Masa Kini
Kini, semangat petualangan Aceh seakan memudar. Generasi muda larut dalam arus digitalisasi dan kehilangan orientasi global yang dulu dimiliki leluhur mereka. Kita perlu membangkitkan kembali semangat lintas batas, baik dalam bidang pendidikan, diplomasi, maupun teknologi. Dunia terbuka luas, dan Aceh punya sejarah panjang menjelajahinya.
Sudah waktunya membangkitkan semangat global Aceh, dengan menanamkan keberanian, kecerdasan, dan nilai spiritualitas seperti para petualang Aceh dulu. Membangun dunia bukan dengan pedang semata, tapi dengan pena, ide, dan langkah kaki yang jauh ke depan.
Jejak petualang Aceh ke lintas dunia adalah kisah tentang keberanian, keilmuan, dan harga diri. Ia bukan sekadar masa lalu, tapi juga inspirasi untuk masa depan. Generasi muda Aceh harus membuka mata terhadap dunia, namun tetap berpijak pada akar budaya dan nilai agama. Sebab, sebagaimana kata pepatah Aceh, "Beuleun rakan ngon ureung, tapeudong lon sayedara awak." (Mungkin kita berpisah tempat, tapi jangan tercerai hati dan cita-cita.)