Oleh: AZHARI
Pernikahan seharusnya menjadi pintu berkah, bukan gerbang derita. Tapi nyatanya, tidak sedikit pernikahan yang justru berujung pada petaka dalam rumah tangga dan luka yang panjang dalam sejarah keluarga. Banyak dari masalah ini berakar dari perjodohan yang dipaksakan tanpa pertimbangan matang, apalagi tanpa merujuk pada konsep syariat yang hakiki.
Perjodohan: Tradisi atau Jerat?
Dalam banyak budaya, perjodohan dianggap sebagai solusi menjaga kehormatan keluarga atau mempererat silaturahmi antar keturunan. Tapi ketika perjodohan dijalankan tanpa restu hati kedua calon mempelai, bahkan tanpa kesiapan ilmu dan mental, maka yang dibangun bukanlah rumah tangga—melainkan penjara batin.
Banyak kisah tragis lahir dari pernikahan yang dipaksakan. Di permukaan terlihat sah dan indah: ada pelaminan, undangan, dan doa restu. Tapi di balik tirai rumah tangga, ada istri yang merasa asing di pelukan suami, ada suami yang tak pernah benar-benar mencintai istri, dan akhirnya anak-anak menjadi korban dari ketidakbahagiaan orang tua mereka.
Bukan Sekadar Status Suami-Istri
Pernikahan bukan hanya tentang sahnya status sebagai suami atau istri. Pernikahan adalah ibadah panjang, ujian emosi, pengorbanan waktu, dan pembelajaran seumur hidup. Maka memilih pasangan tidak cukup sekadar "siapa nama suami atau istri kita", tapi lebih penting adalah siapa karakter, akhlak, dan prinsip hidupnya. Tanpa fondasi ini, rumah tangga akan mudah retak, bahkan sebelum melewati tahun pertama.
Konsep Syariat: Pilar Kokoh dalam Memilih Pasangan
Islam tidak melarang perjodohan. Bahkan, dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW pun pernah menyarankan pernikahan kepada para sahabat. Namun, konsep Islam dalam memilih pasangan tidaklah asal tunjuk atau asal cocok versi keluarga. Ada prinsip-prinsip penting yang harus dipertimbangkan:
-
Agama dan Akhlak – Rasulullah SAW bersabda, "Apabila datang kepadamu seseorang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi." (HR. Tirmidzi)
-
Kesiapan Mental dan Spiritual – Bukan hanya siap menikah, tapi juga siap menjalani ujian rumah tangga. Banyak yang menikah karena cinta sesaat, namun tidak siap menghadapi pahit-manis kehidupan.
-
Kecocokan Visi dan Misi Hidup – Pernikahan adalah penyatuan dua insan yang akan hidup bersama dalam waktu lama. Bila visi hidupnya berbeda jauh, maka cepat atau lambat konflik akan muncul.
-
Musyawarah dan Ridha Kedua Belah Pihak – Dalam Islam, restu orang tua penting, tapi ridha anak juga tidak boleh diabaikan. Tidak ada paksaan dalam agama, apalagi dalam pernikahan.
Perceraian: Bukan Akhir, Tapi Luka yang Dalam
Ketika rumah tangga tak lagi mampu dipertahankan, perceraian pun menjadi jalan keluar. Tapi perceraian bukan hanya memisahkan dua individu. Ia juga merobek harapan keluarga, menghancurkan masa depan anak-anak, dan meninggalkan luka emosional yang mendalam.
Jika sejak awal konsep syariat ditegakkan dalam memilih pasangan, maka banyak perceraian dan petaka dalam keluarga bisa dicegah. Islam mengajarkan untuk mendahulukan akhlak daripada harta, agama daripada paras wajah, dan ketenangan jiwa daripada gengsi sosial.
Nikah Itu Serius, Bukan Sekadar Status
Sudah saatnya kita kembali memaknai pernikahan sebagai ibadah yang serius. Perjodohan boleh saja menjadi jalan pertemuan, tapi bukan pemaksaan kehendak. Orang tua harus bijak, anak muda harus cerdas, dan masyarakat harus sadar bahwa pernikahan tanpa ilmu dan syariat hanya akan mengundang petaka.
Pernikahan bukan sekadar prosesi. Ia adalah perjalanan panjang menuju akhirat. Maka, jangan biarkan pernikahan yang seharusnya membawa berkah justru menjadi musibah karena kita abai pada nilai-nilai Islam. Wallahu a'lam.