Aceh adalah tanah yang diberkahi dengan sejarah panjang perjuangan, warisan ulama besar, dan penerapan nilai-nilai Islam yang tertuang dalam berbagai sistem sosial maupun hukum. Namun, di tengah kemajuan zaman dan gelombang digitalisasi, Aceh kini menghadapi ujian baru: bagaimana mempertahankan kedalaman Islam sebagai rahmat bagi semesta, sambil merespons realitas digital yang seringkali menyuguhkan interpretasi agama yang dangkal, hitam-putih, bahkan ekstrem.
Dalam konteks ini, moderasi beragama bukanlah slogan, tetapi sebuah keharusan. Ia menjadi landasan untuk menyaring, merangkul, dan mengarahkan kembali praktik beragama agar tetap dalam koridor rahmatan lil ‘alamin, dengan tetap relevan di era digital yang kompleks dan cepat berubah.
Digitalisasi dan Tantangan Kebangsaan di Aceh
Kemajuan teknologi informasi tidak hanya mengubah cara manusia berkomunikasi, tetapi juga mengubah pola pikir, pembentukan opini, dan praktik keagamaan. Informasi keagamaan kini tak lagi hanya datang dari mimbar masjid atau pesantren, tetapi dari TikTok, Instagram, YouTube, bahkan grup WhatsApp keluarga.
Namun, tantangan besar muncul ketika ajaran Islam disederhanakan menjadi potongan video berdurasi 30 detik, tanpa konteks, tanpa sanad keilmuan, dan tanpa tanggung jawab. Di sinilah moderasi beragama diuji — apakah kita mampu bersikap kritis, adil, dan bijak, atau justru ikut terseret arus polarisasi dan radikalisme digital?
Di Aceh, yang secara hukum memiliki kekhususan dalam penerapan syariat Islam, ruang digital juga mulai dimasuki oleh konten-konten yang bernuansa intoleran. Ujaran kebencian atas nama agama, dakwah yang menghakimi, bahkan ajakan untuk menolak negara dengan dalih penegakan Islam yang murni, semakin mudah diakses, terutama oleh generasi muda yang minim literasi agama.
Moderasi Beragama: Pilar Etika Digital Islam
Secara terminologi, moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang mengedepankan keseimbangan, keadilan, toleransi, anti kekerasan, serta menghormati keberagaman. Ini adalah sikap yang menjadi ciri umat Islam terbaik sebagaimana difirmankan dalam QS. Al-Baqarah:143:
> "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan (ummatan wasathan) agar kamu menjadi saksi atas manusia..."
Dalam konteks digital, moderasi beragama berfungsi sebagai filter moral dan etik, agar umat tidak mudah menyerap informasi keagamaan tanpa dasar, tidak menyebarkan hoaks atas nama dakwah, dan tidak merasa paling benar lalu menyalahkan orang lain yang berbeda.
Moderasi bukan berarti kompromi terhadap nilai-nilai Islam, melainkan ikhtiar untuk menghidupkan Islam yang membangun, bukan menghancurkan. Ia berakar kuat dalam akhlak Rasulullah SAW, yang dalam banyak riwayat selalu menampilkan keislaman yang ramah, bukan marah.
Moderasi dan Kearifan Lokal Aceh
Aceh memiliki modal sosial dan spiritual yang kuat untuk mengembangkan moderasi. Dalam sejarahnya, Aceh adalah tempat lahirnya ulama besar seperti Syekh Abdurrauf as-Singkili, yang dalam tafsirnya mengajarkan pentingnya keseimbangan antara syariat dan hak-hak sosial. Demikian pula Syiah Kuala, yang menulis karya tentang fiqh yang penuh kebijaksanaan dan toleransi.
Nilai-nilai adat Aceh yang berlandaskan syariat (hukum adat nyang syara', syara' nyang kitabullah), merupakan bentuk moderasi khas lokal. Dalam budaya Aceh, perbedaan mazhab, status sosial, hingga perbedaan pandangan politik bisa diselesaikan melalui musyawarah, dengan pendekatan adat yang santun.
Namun, kekayaan lokal ini mulai terkikis ketika anak muda Aceh lebih banyak mengakses “dakwah kilat” dari media sosial luar yang tidak memahami konteks Aceh. Di sinilah pentingnya revitalisasi nilai-nilai lokal Islam Aceh dalam narasi digital. Misalnya, memproduksi konten keislaman yang menampilkan sejarah ulama Aceh, khutbah-khutbah bijak dari imam kampung, hingga kisah-kisah adat yang selaras dengan syariat.
Peran Pemerintah Aceh dan Ulama dalam Etika Digital
Dalam konteks regulasi, Pemerintah Aceh memiliki peran penting dalam mendorong literasi keislaman digital yang moderat. Qanun tentang Penyiaran Agama, Media Dakwah, atau bahkan Etika Digital Islami sangat dibutuhkan untuk mengatur bukan hanya apa yang dilarang, tapi juga membina cara berdakwah dan bermedia yang sehat dan produktif.
Sementara itu, MPU Aceh (Majelis Permusyawaratan Ulama) harus berperan aktif menjawab isu-isu digital yang marak, seperti ujaran kebencian antar mazhab, pengkafiran terhadap sesama Muslim, dan penyebaran fatwa digital yang tidak otoritatif. Ulama Aceh perlu tampil lebih aktif di media sosial, bukan hanya sebagai pemberi nasihat, tapi juga sebagai “influencer kebaikan” yang merespons cepat dan bijak terhadap isu-isu keagamaan viral.
Generasi Muda Aceh: Duta Moderasi Digital
Tak dapat dimungkiri, anak muda Aceh adalah pengguna internet paling dominan. Namun, hanya sedikit dari mereka yang terlibat dalam produksi konten keislaman yang sehat. Lebih banyak yang menjadi konsumen pasif, dan sebagian menjadi penyebar konten tanpa verifikasi.
Program-program seperti Sekolah Moderasi Beragama, Pelatihan Dai Digital, atau Komunitas Kreator Konten Islami perlu diperkuat. Anak muda harus didorong menjadi duta moderasi, bukan hanya di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya.
Mereka bisa membuat konten Islami yang:
Menggambarkan pentingnya adab dalam berdakwah, Menunjukkan bahwa perbedaan dalam Islam adalah rahmat;
Menolak kekerasan dan pemaksaan atas nama agama,Merayakan keragaman mazhab dan cara pandang dalam Islam, termasuk di Aceh.
Menjawab Tantangan: Konten Provokatif dan Polarisasi Agama
Salah satu tantangan besar moderasi beragama di era digital adalah menjawab konten-konten provokatif yang menyesatkan umat. Beberapa ciri konten yang berbahaya antara lain:
Judul yang mengkafirkan atau menyudutkan pihak tertentu, Potongan ceramah yang diambil tanpa konteks.
Narasi “kita paling benar, yang lain sesat”.
Memprovokasi untuk membenci, memisahkan, bahkan memberontak terhadap pemerintah yang sah. Jika masyarakat Aceh tidak segera membangun daya tahan spiritual dan literasi digital, maka generasi kita akan terjebak dalam sikap-sikap ekstrem yang merusak harmoni sosial dan keislaman.
Kesimpulan: Moderasi sebagai Jalan Tengah dan Jalan Lurus
Moderasi beragama bukan jalan tengah yang netral dan ambigu. Ia adalah jalan lurus yang diajarkan Islam: adil, seimbang, menghindari ghuluw (berlebihan), dan mengedepankan akhlak dalam setiap tindakan.
Di era digital, moderasi bukan hanya dibutuhkan dalam interaksi sosial langsung, tetapi juga dalam klik, unggahan, dan komentar kita di media sosial. Karena jejak digital adalah jejak dakwah.
Aceh dengan keistimewaannya bisa menjadi model nasional dalam penerapan moderasi beragama yang berbasis syariat. Tapi itu hanya mungkin jika:
Pemerintah Aceh mendukung regulasi dan pendidikan digital yang seimbang.Ulama bersuara aktif dan membimbing umat di ruang digital.Anak muda terlibat sebagai produsen narasi Islam yang damai dan mempersatukan.
Maka dari itu, di era digital ini, menjaga agama bukan hanya dengan lisan dan tulisan, tapi juga dengan sentuhan di layar ponsel. Mari kita hidupkan moderasi beragama bukan hanya sebagai wacana, tapi sebagai praktik harian yang menyentuh akal dan hati, baik di dunia nyata maupun maya.
Penulis Azhari
Dosen universitas Islam Aceh
Peserta PKDP