Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Refleksi 80 Tahun Indonesia Merdeka: Sudahkah Rakyat Adil dan Sejahtera

Sabtu, 16 Agustus 2025 | 12:01 WIB Last Updated 2025-08-16T05:01:21Z




 Sebuah Tanya di Ujung Perjalanan Delapan Dekade

Delapan puluh tahun bukanlah waktu yang singkat bagi sebuah bangsa. Sejarah panjang penuh darah, air mata, dan perjuangan telah dilalui oleh Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945. Kala itu, Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan sebagai tonggak lahirnya sebuah negara yang berdaulat, merdeka, dan berkeadilan.

Namun, delapan dekade kemudian, pertanyaan fundamental muncul kembali: sudahkah cita-cita kemerdekaan terwujud? Sudahkah rakyat Indonesia hidup adil dan sejahtera sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945?

Pertanyaan ini tidak bisa dijawab sekadar dengan retorika atau perayaan seremonial kemerdekaan. Ia menuntut refleksi jujur, evaluasi menyeluruh, dan kesadaran kolektif bahwa kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan panjang menuju kesejahteraan rakyat.


1. Janji Kemerdekaan: Keadilan Sosial sebagai Pilar Utama

Cita-cita kemerdekaan Indonesia bukan hanya soal terlepas dari penjajahan, tetapi lebih dari itu: menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini tegas termaktub dalam sila kelima Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Makna keadilan sosial dalam konteks kemerdekaan adalah:

  • Setiap rakyat mendapatkan hak hidup layak.
  • Kekayaan alam dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  • Tidak ada jurang menganga antara kaya dan miskin.
  • Rakyat kecil dilindungi dari penindasan, baik oleh penjajah asing maupun oleh bangsanya sendiri.

Dengan demikian, kemerdekaan adalah amanah. Bukan sekadar simbol bendera dan lagu kebangsaan, melainkan janji kepada rakyat bahwa mereka berhak hidup bermartabat.


2. Delapan Dekade Perjalanan: Capaian dan Kemajuan yang Tak Bisa Diabaikan

Dalam kejujuran refleksi, kita tidak boleh menutup mata terhadap capaian bangsa. Meski penuh keterbatasan, banyak kemajuan nyata telah dicapai sejak Indonesia berdiri.

a. Pendidikan dan Literasi

Tahun 1945, tingkat melek huruf rakyat Indonesia sangat rendah, hanya sekitar 10%. Kini, tingkat melek huruf melampaui 95%. Jutaan anak bangsa bisa mengenyam pendidikan, meski kualitasnya masih bervariasi. Universitas tumbuh di berbagai daerah, melahirkan generasi terdidik.

b. Infrastruktur dan Modernisasi

Indonesia yang dulu identik dengan jalan tanah dan jembatan gantung sederhana, kini memiliki jaringan jalan tol, pelabuhan modern, bandara internasional, serta jaringan internet yang menjangkau hingga pelosok. Mobilitas rakyat meningkat pesat, konektivitas antarwilayah semakin terhubung.

c. Ekonomi dan Penurunan Kemiskinan

Tingkat kemiskinan ekstrem telah menurun. Rakyat miskin yang dulunya lebih dari 50% populasi, kini jauh berkurang. Pertumbuhan ekonomi, meski fluktuatif, tetap menjadikan Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.

d. Demokrasi dan Partisipasi Politik

Indonesia telah melalui transisi dari era otoritarianisme menuju demokrasi. Pemilu langsung memberi ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpin mereka, meski kualitas demokrasi masih diperdebatkan. Partisipasi politik rakyat, terutama generasi muda, semakin meningkat.

e. Peran Global

Indonesia bukan lagi bangsa yang dipandang sebelah mata. Sebagai anggota G20, Indonesia punya posisi strategis dalam ekonomi global. Diplomasi internasional pun semakin diperhitungkan, dari isu Palestina hingga perubahan iklim.

Capaian-capaian ini adalah bukti nyata bahwa bangsa ini tidak berjalan di tempat. Ada progres, ada langkah maju, ada buah dari perjuangan panjang.


3. Luka dan Kegagalan: Kesenjangan yang Masih Membekas

Namun, refleksi tak boleh hanya berhenti pada capaian. Sebab di balik angka-angka statistik, masih ada wajah-wajah rakyat yang menyimpan luka.

a. Jurang Kaya dan Miskin

Hingga kini, Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan kesenjangan ekonomi yang lebar. Data menunjukkan segelintir orang menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional. Sementara jutaan rakyat masih berjuang sekadar untuk makan tiga kali sehari.

b. Korupsi yang Mengakar

Korupsi masih menjadi musuh besar bangsa. Dari pusat hingga daerah, praktik suap, kolusi, dan nepotisme terus terjadi. Dana pembangunan yang seharusnya untuk rakyat sering bocor ke kantong elite. Ini menjadikan rakyat doubly colonized: dulu dijajah asing, kini dijajah oleh anak bangsanya sendiri.

c. Keterbelakangan Layanan Dasar

Di sejumlah daerah, akses terhadap air bersih, listrik, pendidikan berkualitas, dan layanan kesehatan masih jauh dari merata. Anak-anak di Papua, Maluku, hingga pelosok Kalimantan, masih harus berjalan jauh hanya untuk bersekolah. Banyak rumah sakit yang tak mampu menampung pasien miskin.

d. Kerusakan Lingkungan dan Eksploitasi Sumber Daya

Ironis, negeri kaya alam ini justru menderita akibat eksploitasi berlebihan. Hutan gundul, tambang merusak ekosistem, laut tercemar, dan rakyat kecil kehilangan tanahnya. Alih-alih menyejahterakan, kekayaan alam justru kerap menjadi sumber konflik.

e. Ketidakadilan Hukum

Keadilan hukum di Indonesia masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Rakyat kecil sering dihukum berat untuk kesalahan kecil, sementara elite yang merugikan negara triliunan bisa lolos dengan hukuman ringan.


4. Tantangan Baru: Era Globalisasi dan Digitalisasi

Kita juga menghadapi tantangan era baru: globalisasi dan revolusi digital.

  • Ekonomi digital membuka peluang, tapi juga melahirkan ketidakadilan baru. Mereka yang punya akses teknologi melesat, sementara yang tertinggal makin tertinggal.
  • Ketergantungan pada modal asing membuat kedaulatan ekonomi rawan diganggu.
  • Disrupsi lapangan kerja akibat AI dan otomatisasi membuat jutaan rakyat berisiko kehilangan pekerjaan.
  • Budaya gotong royong yang menjadi ruh bangsa mulai tergerus oleh individualisme digital.

Kemerdekaan di era ini bukan lagi sekadar melawan penjajah fisik, melainkan melawan penjajahan ekonomi global, dominasi digital, dan monopoli kapital.


5. Jalan Menuju Indonesia Adil dan Sejahtera

Refleksi 80 tahun kemerdekaan harus berbuah rekomendasi konkret. Ada beberapa langkah strategis yang bisa menjadi pegangan bangsa:

  1. Pemberantasan Korupsi Total
    Korupsi adalah pangkal dari ketidakadilan. Tanpa memberantas korupsi secara sistematis, cita-cita kesejahteraan hanya mimpi.

  2. Revolusi Pendidikan
    Pendidikan harus melahirkan manusia berkarakter, bukan hanya pencari kerja. Pendidikan yang membebaskan, humanis, berbasis riset, dan berakar pada budaya bangsa adalah kunci.

  3. Ekonomi Kerakyatan
    Koperasi, UMKM, dan pertanian rakyat harus menjadi tulang punggung. Jangan biarkan ekonomi hanya dikuasai konglomerat.

  4. Distribusi Adil Sumber Daya Alam
    Pasal 33 UUD 1945 harus benar-benar dijalankan. Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

  5. Keadilan Hukum
    Reformasi hukum harus menegakkan prinsip kesetaraan. Tidak boleh ada lagi hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas.

  6. Penguatan Etika dan Moral Bangsa
    Tanpa integritas, semua pembangunan hanya akan runtuh. Etika, moralitas, dan nilai-nilai luhur bangsa harus kembali dijadikan fondasi.


6.Kemerdekaan sebagai Amanah yang Belum Selesai

Delapan puluh tahun merdeka, bangsa ini telah melalui banyak fase. Dari perjuangan fisik melawan penjajah, pembangunan di era orde baru, transisi reformasi, hingga tantangan globalisasi digital hari ini.

Namun, pertanyaan mendasar tetap menggantung: sudahkah rakyat Indonesia hidup adil dan sejahtera?

Jika kita jujur, jawabannya: belum sepenuhnya. Masih banyak rakyat kecil yang tertinggal, masih ada ketidakadilan, masih ada kesenjangan. Itu berarti kemerdekaan adalah amanah yang belum tuntas.

Generasi hari ini punya tugas untuk melanjutkan perjuangan. Tidak dengan bambu runcing, tetapi dengan integritas, pendidikan, inovasi, dan kesetiaan pada cita-cita bangsa. Kemerdekaan tidak boleh berhenti pada seremoni, melainkan harus nyata dalam perut rakyat yang kenyang, pendidikan yang merata, kesehatan yang terjamin, dan hidup yang penuh martabat.

Refleksi 80 tahun ini harus menjadi titik balik: dari kemerdekaan simbolis menuju kemerdekaan substansial