Di tengah derasnya arus informasi dan derasnya riuh media sosial, kita sering lupa: tidak semua hal harus diperdebatkan. Tidak semua kritik harus direspons dengan amarah. Tidak semua kesalahan harus dibela mati-matian. Ada saatnya kita bertanya pada diri sendiri: untuk apa berperang jika kita bisa berdamai?
Perang, dalam bentuknya yang paling sederhana di era digital ini, sering kali tidak hadir dalam bentuk fisik. Ia datang lewat komentar, unggahan, sindiran, bahkan fitnah. Kita saling lempar narasi, saling tuding, saling menyerang seolah semuanya boleh dan benar di atas nama “kebebasan berpendapat.”
Namun di balik itu semua, kita kehilangan satu nilai penting dalam kehidupan sosial: nilai kesadaran dan kerendahan hati.
Sosial Media: Ruang Perang atau Ruang Refleksi?
Media sosial hari ini tak ubahnya seperti arena gladiator, di mana siapa yang paling keras, paling viral, dan paling pedas akan disorot. Sayangnya, ruang yang seharusnya menjadi tempat berbagi informasi, dialog konstruktif, dan refleksi sosial justru berubah menjadi ajang pertempuran ego.
Orang yang dikritik, bukannya mendengar, justru membalas dengan serangan balik. Orang yang diperingatkan, bukannya introspeksi, justru memblokir, memaki, atau malah memainkan peran sebagai korban. Padahal, siapa pun bisa salah. Termasuk kita. Termasuk pemimpin. Termasuk tokoh publik. Termasuk yang merasa paling benar.
Di sinilah pentingnya kita membangun budaya diam saat salah, bukan keras kepala demi pembenaran. Karena kritik itu bukan penghinaan. Kritik, jika datang dari niat yang tulus, adalah bentuk cinta terhadap perbaikan. Kita harus belajar membedakan mana kritik, mana caci maki. Dan lebih penting lagi, belajar membedakan mana yang harus dijawab, dan mana yang cukup ditampung dalam hati.
Untuk Apa Berpaut pada Sosial Media Kalau Salah?
Kita hidup di zaman di mana semua orang bisa menjadi wartawan, hakim, bahkan jaksa di media sosial. Sayangnya, bukan keadilan yang muncul, tetapi pembenaran sepihak. Saat ada kritik atau dugaan kesalahan, alih-alih menyikapi dengan bijak, yang muncul justru pembelaan buta, bahkan dari orang-orang terdekat si pelaku.
Apakah tidak boleh membela? Boleh. Tetapi membela harus dengan data dan kesadaran, bukan dengan membalikkan kebenaran menjadi kebohongan.
Jika salah, mengapa tidak diam? Mengapa tidak meminta maaf? Mengapa tidak menerima kritik dan memperbaiki diri?
Dalam banyak kasus, mereka yang bisa diam dan memperbaiki kesalahan, justru lebih dihormati daripada mereka yang terus membuat dalih untuk menutupi kebobrokan. Karena masyarakat bisa menilai. Publik tidak bodoh.
Kita harus sadar, bahwa salah satu krisis terbesar hari ini adalah krisis etika kepemimpinan dan moral publik. Mereka yang diberi amanah, kadang merasa kebal kritik. Mereka yang punya jabatan, merasa bebas dari kesalahan. Padahal jabatan bukan tameng. Justru semakin tinggi jabatan, semakin besar tanggung jawab moral untuk memberi contoh.
Cukup Diam, Jika Salah. Bicara, Jika Ingin Perubahan.
Kadang, diam adalah pilihan paling elegan dalam menghadapi situasi penuh kritik. Bukan karena lemah, tapi karena sadar. Karena orang yang sadar bahwa dirinya salah, tidak perlu membalas dengan suara. Ia hanya perlu membalas dengan perbaikan nyata.
Sebaliknya, jika kita ingin perubahan, maka bicara-lah. Bukan bicara untuk menyerang, tapi untuk menawarkan solusi. Bukan bicara untuk menjatuhkan, tapi untuk membangkitkan kesadaran. Di sinilah peran intelektual, aktivis, dan rakyat biasa sangat penting. Kita tidak boleh diam saat melihat ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, atau sikap anti-kritik.
Namun dalam menyampaikan kritik, mari kita tetap jaga etika. Sampaikan dengan sopan, dengan data, dan dengan itikad baik. Karena kritik yang baik, jika disampaikan dengan cara yang buruk, akan kehilangan maknanya.
Jangan Ganti Akal Sehat dengan Loyalitas Buta
Banyak yang gagal membedakan antara loyalitas dan pembenaran. Loyal bukan berarti membela dalam kesalahan. Jika kita mencintai seseorang—entah itu tokoh, pemimpin, atau sahabat—maka saat ia salah, kita harus berani mengingatkan. Bukan malah membabi buta membela.
Negeri ini terlalu lelah dengan politik pencitraan. Terlalu kenyang dengan drama sosial media. Saatnya kita kembali pada substansi: kerja nyata, pelayanan tulus, dan moralitas dalam kepemimpinan.
Loyalitas yang sehat adalah loyalitas yang mampu mengkritik. Loyalitas yang membungkam kritik adalah racun dalam demokrasi.
Damai Itu Indah, Kritik Itu Cinta
Untuk apa berperang jika bisa berdamai? Untuk apa berpaut pada sosial media jika itu hanya jadi ruang pembenaran kesalahan? Untuk apa keras kepala jika sebenarnya kita sadar bahwa kita salah?
Mari kita rawat ruang publik dengan nilai. Mari kita jaga nalar dengan akhlak. Mari kita dengarkan kritik sebagai tanda bahwa masih ada orang yang peduli.
Karena kritik adalah cinta yang tak semua orang mampu ungkapkan. Dan diam saat salah, adalah jalan awal menuju perubahan yang hakiki.
Penulis Azhari
Catatan Penulis:
Opini ini bukan untuk menyerang siapa pun. Ini adalah refleksi kecil untuk kita semua — rakyat biasa, pemimpin, pejabat, tokoh, dan siapa saja yang merasa sedang berada di posisi berpengaruh. Mari tumbuh bersama dalam kritik, bukan hancur bersama dalam pembenaran.
.