Agustus 2025 menjadi penanda 20 tahun damai Aceh pasca penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua dekade silam, darah dan air mata menjadi bahasa sehari-hari rakyat Aceh. Kini, suara letusan senjata telah digantikan oleh langkah-langkah pembangunan, meski belum sepenuhnya merata dan merasuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat Aceh.
Bagi generasi muda yang lahir atau besar pasca-konflik, damai adalah sesuatu yang taken for granted—disebut tanpa rasa takut, dibicarakan tanpa luka. Namun apakah kedamaian hari ini cukup sekadar tidak adanya perang? Apakah generasi muda memahami harga mahal dari perjanjian Helsinki? Di sinilah pentingnya refleksi.
Damai Bukan Sekadar Tidak Ada Perang
Damai yang dimaksud dalam konteks Aceh bukanlah absennya kekerasan semata, melainkan terwujudnya keadilan, penghormatan terhadap hak asasi manusia, kesejahteraan, dan partisipasi bermakna dalam pembangunan. Sayangnya, sebagian generasi muda tidak pernah dikenalkan secara serius pada akar konflik Aceh, sejarah panjang perjuangan rakyatnya, maupun isi dan amanah dari MoU Helsinki.
Sebagian lainnya memandang damai Aceh sebagai sesuatu yang “elitis”, terlalu banyak diperdebatkan oleh politisi, namun tak menyentuh persoalan riil rakyat. Kesenjangan sosial masih menganga, korupsi tetap merajalela bahkan di tingkat lokal, dan angka pengangguran serta kemiskinan masih menjadi momok. Maka tak heran bila anak muda Aceh merasa tercerabut dari narasi damai itu sendiri.
Padahal, damai sejati mestinya menghadirkan rasa memiliki, rasa aman, dan rasa berdaya. Ketika pemuda merasa tak punya tempat untuk menyuarakan kegelisahan, atau tak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, maka damai itu menjadi ruang kosong yang tak bermakna dalam kehidupan mereka.
Warisan Damai: Terawat atau Terlupakan?
MoU Helsinki bukanlah akhir perjuangan, melainkan titik awal rekonstruksi peradaban. Namun, dua dekade berlalu, masih banyak janji dalam perjanjian tersebut yang tak kunjung ditunaikan. Mulai dari kejelasan status wilayah, pengelolaan sumber daya alam, hingga penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang nyaris dilupakan.
Apakah generasi muda tahu bahwa MoU Helsinki menjanjikan penguatan identitas budaya Aceh, penyelenggaraan pendidikan berbasis nilai-nilai lokal, serta penegakan hukum yang adil dan transparan? Apakah mereka sadar bahwa damai juga menuntut penyembuhan luka sejarah, bukan sekadar menutupinya?
Sayangnya, ruang edukasi sejarah di sekolah dan kampus lebih sering membungkam masa lalu ketimbang mengajarkannya. Museum damai belum berdiri kokoh. Dokumen sejarah belum menjadi bacaan wajib. Yang tumbuh justru generasi muda yang bingung: antara mencintai Aceh atau sinis terhadapnya.
Generasi Muda: Korban, Pewaris, atau Pelaku Perubahan?
Generasi muda Aceh hari ini hidup di antara dua realitas: harapan akan masa depan yang lebih baik, dan kenyataan pahit dari masa lalu yang belum tuntas diselesaikan. Mereka bukan lagi korban konflik seperti generasi orang tua mereka, namun seringkali menjadi korban kegagalan distribusi keadilan pasca-konflik.
Namun di sisi lain, generasi muda juga adalah pewaris utama dari perjanjian damai ini. Mereka mewarisi beban sejarah sekaligus harapan masa depan. Di tangan merekalah damai Aceh bisa terus dirawat atau justru dilupakan.
Lebih dari itu, generasi muda seharusnya menjadi pelaku perubahan—bukan sekadar pewaris narasi yang dibentuk para elit. Mereka perlu diberikan ruang, akses, dan keberdayaan untuk menyusun visi mereka sendiri tentang Aceh: Aceh yang adil, makmur, dan bermartabat. Mereka tak bisa terus-menerus dijadikan objek proyek perdamaian. Mereka harus menjadi subjek utama yang turut menentukan arah dan isi perdamaian itu sendiri.
Apa yang Harus Dilakukan?
1. Membangun Kesadaran Sejarah dan Politik
Generasi muda perlu dibekali dengan pengetahuan yang utuh tentang sejarah Aceh, termasuk akar konflik dan isi MoU Helsinki. Pendidikan formal dan informal harus memainkan peran strategis dalam menanamkan kesadaran ini—bukan hanya lewat kurikulum, tetapi juga lewat narasi, budaya, seni, dan literasi digital.
2. Mendorong Partisipasi Bermakna
Pemerintah daerah dan institusi politik perlu membuka ruang partisipasi yang konkret bagi generasi muda. Jangan hanya melibatkan mereka sebagai pelengkap seremonial atau simbolis dalam forum-forum damai. Anak muda perlu dilibatkan dalam penyusunan kebijakan, pengawasan anggaran, bahkan dalam proyek-proyek pembangunan yang menyentuh langsung kebutuhan mereka.
3. Menghidupkan Ekonomi Damai
Damai tidak bisa terus-menerus dibiayai oleh proyek-proyek bantuan semata. Perlu ada keberpihakan terhadap ekonomi kerakyatan, pemberdayaan wirausaha muda, serta jaminan akses terhadap sumber daya yang adil dan berkelanjutan.
4. Membangun Simbol dan Institusi Perdamaian
Sudah saatnya Aceh memiliki Museum Damai, Pusat Studi Perdamaian, dan produk-produk budaya yang mendokumentasikan kisah rakyat dalam masa konflik dan damai. Jangan biarkan narasi damai hanya hidup di meja perundingan atau laporan donor, tapi hadir dalam kehidupan keseharian.
Damai Belum Usai
Dua puluh tahun damai Aceh adalah capaian yang patut disyukuri. Namun damai bukan sesuatu yang final, ia adalah proses panjang yang harus terus dirawat. Seperti kata orang bijak, perdamaian sejati bukan saat meriam berhenti berbicara, tetapi ketika hati saling mendengarkan.
Generasi muda Aceh tidak boleh hanya menjadi saksi pasif dari sejarah. Mereka harus menjadi aktor utama yang menjaga agar perdamaian ini tidak hanya menjadi ingatan seremonial setiap bulan Agustus, melainkan fondasi kokoh untuk membangun Aceh yang adil, mandiri, dan bermartabat.
Karena tanpa generasi muda yang sadar dan terlibat, damai bisa kehilangan maknanya.
“Damai itu lahir dari keberanian memaafkan, kekuatan untuk berubah, dan keyakinan bahwa masa depan bisa lebih baik dari masa lalu.”
— Refleksi Generasi Damai Aceh