Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Hidup dalam Maksiat, Mati Tanpa Manfaat: Sebuah Renungan Kehidupan dan Akhirat

Sabtu, 20 September 2025 | 01:16 WIB Last Updated 2025-09-19T18:16:23Z

.

Pertanyaan Eksistensial

Di tengah derasnya arus kehidupan modern, kita sering menjumpai fenomena orang mengejar kesenangan sesaat tanpa memikirkan konsekuensi akhirat. Hiburan tanpa batas, gaya hidup konsumtif, hingga praktik yang melanggar norma agama seolah menjadi biasa. Pertanyaan yang Anda lontarkan—“Andai kehidupan ini selalu dalam maksiat, apa arti hidup tanpa manfaat?”—bukan sekadar kata-kata. Ia adalah renungan mendalam yang mengusik nurani: untuk apa kita hidup jika hidup itu justru menjauhkan kita dari kebaikan dan keselamatan akhirat?

Makna Hidup Menurut Pandangan Agama

Dalam Islam, hidup bukanlah tujuan, melainkan jalan. Al-Qur’an mengingatkan: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Artinya, inti keberadaan manusia adalah pengabdian, bukan sekadar eksistensi biologis. Bila hidup dijalani dalam maksiat, kita sedang mengingkari tujuan utama penciptaan itu sendiri. Pada titik itulah hidup menjadi hampa: bernafas tapi tidak bermakna, bergerak tapi tidak menuju keselamatan.

Maksiat: Jalan Cepat Menuju Kehampaan

Maksiat sering diartikan sebagai pelanggaran hukum Allah, baik kecil maupun besar. Namun di balik itu, maksiat juga adalah pelanggaran terhadap nurani kita sendiri. Setiap kali kita jatuh dalam maksiat, ada bagian dari jiwa yang terkikis. Jika maksiat menjadi kebiasaan, hati pun menjadi keras dan gelap—dalam bahasa Al-Qur’an: qalbun maridh (hati yang sakit). Akibatnya, seseorang kehilangan sensitifitas terhadap kebaikan dan kebenaran.

Kehidupan yang penuh maksiat ibarat orang yang menutup mata di siang bolong. Terang benderang ada, tapi tak terlihat. Kebenaran hadir, tapi tak tersentuh. Pada saat yang sama, hidup jadi seperti lingkaran setan: mengejar kesenangan yang tidak pernah benar-benar memuaskan. Dari luar tampak “hidup”, tetapi batinnya kering dan kosong.

Arti Hidup Tanpa Manfaat

Hidup yang baik bukan hanya tentang menjauhi maksiat, tetapi tentang menghadirkan manfaat. Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Artinya, nilai seseorang bukan diukur dari harta, status, atau popularitas, tetapi dari kontribusinya. Hidup dalam maksiat otomatis memutus potensi manfaat itu: seseorang sibuk dengan dosa pribadi, sehingga lupa berbuat baik untuk orang lain.

Jika kita ingin mengukur arti hidup, ukurannya sederhana: seberapa besar kebaikan yang kita tinggalkan. Sebuah kehidupan yang seluruhnya maksiat mungkin menghasilkan tawa sesaat, tetapi jarang melahirkan jejak kebaikan. Pada akhirnya, ia hanya menyisakan penyesalan.

Akhirat: Dimensi yang Sering Terlupakan

Banyak orang lupa bahwa hidup ini bukan segalanya. Ada kehidupan setelah kematian—akhirat—yang nilainya kekal. Dunia ibarat ladang, akhirat adalah panen. Dunia tempat bekerja, akhirat tempat menerima hasil. Jika hidup dijalani dalam maksiat, kita sedang menabur benih busuk yang kelak dipanen dalam bentuk kerugian abadi.

Kesadaran akan akhirat seharusnya menjadi kompas moral. Bukan berarti kita menjauh dari dunia, melainkan menata dunia agar selaras dengan nilai akhirat. Bekerja, berusaha, berkeluarga, berpolitik—semua sah, selama tidak melanggar batas dan niatnya benar. Tetapi tanpa kesadaran akhirat, semua itu bisa berubah menjadi arena maksiat yang menghancurkan diri.

Mengapa Orang Terjebak Maksiat?

Fenomena orang hidup dalam maksiat tidak lahir dari ruang kosong. Ada beberapa sebab yang bisa kita renungkan:

  1. Lingkungan yang rusak: Ketika norma sosial longgar, maksiat menjadi normal.
  2. Ketiadaan pendidikan moral: Pengetahuan agama dangkal, sehingga orang tidak punya bekal membedakan benar-salah.
  3. Krisis spiritual: Orang kehilangan tujuan hidup, lalu mencari pelarian pada kesenangan sesaat.
  4. Tekanan ekonomi dan sosial: Sebagian orang tergoda maksiat karena faktor ekonomi atau tekanan hidup.

Namun, semua sebab ini bukan alasan untuk menyerah. Kesadaran individu tetap kunci. Bahkan di lingkungan paling rusak sekalipun, selalu ada jalan untuk bertahan dalam kebaikan.

Jalan Kembali: Tobat dan Perubahan

Hal paling indah dari ajaran Islam adalah pintu taubat selalu terbuka. Tidak ada istilah “terlambat” selama nafas masih ada. Seorang yang sepanjang hidupnya bergelimang maksiat tetap bisa menjadi manusia paling mulia jika ia benar-benar bertobat. Dalam hadis disebutkan, “Allah lebih gembira terhadap taubat hamba-Nya daripada seseorang yang kehilangan kendaraannya di padang pasir lalu menemukannya kembali.”

Taubat bukan sekadar penyesalan, tetapi juga langkah konkret: meninggalkan maksiat, menyesali perbuatan, dan bertekad tidak mengulanginya. Dalam konteks sosial, taubat juga berarti berusaha memperbaiki diri dan memberi manfaat kepada sesama.

Hidup Bermakna: Antara Dunia dan Akhirat

Hidup yang bermakna bukan hidup yang sempurna tanpa dosa, tetapi hidup yang terus berjuang melawan dosa dan menghadirkan kebaikan. Hidup ini memang fana, tetapi setiap perbuatan kita punya jejak kekal. Sedekah kecil, kata baik, senyum tulus—semua menjadi tabungan akhirat.

Kita perlu menata ulang orientasi hidup. Menjauhi maksiat bukan berarti mematikan kegembiraan, tetapi mengganti kesenangan semu dengan kebahagiaan hakiki. Menjalani hidup sesuai tuntunan agama membuat hati tenang, pikiran jernih, dan tindakan bermanfaat. Pada akhirnya, orang yang hidup dalam ketaatan lebih menikmati hidup daripada mereka yang hidup dalam maksiat, karena hatinya lapang dan tenang.

Refleksi Pribadi

Pertanyaan “apa arti hidup tanpa manfaat?” sebaiknya kita jawab dengan aksi. Kita bisa memulai dari hal kecil: memperbaiki salat, memperbanyak doa, menghindari dosa yang paling sering dilakukan, dan melatih diri memberi manfaat pada orang lain. Dunia ini hanya sementara. Tak ada orang yang menyesal karena terlalu banyak berbuat baik, tetapi banyak orang menyesal karena terlambat meninggalkan maksiat.

Penutup: Mengisi Hidup dengan Manfaat

Hidup dalam maksiat berarti menyia-nyiakan waktu yang sangat singkat di dunia untuk kesenangan sesaat, lalu menanggung kerugian panjang di akhirat. Sebaliknya, hidup dalam kebaikan, sekalipun berat dan sederhana, memberi ketenangan jiwa dan manfaat bagi sesama. Itu bekal terbaik untuk akhirat.

Karena itu, marilah kita menjadikan hidup ini bukan sekadar untuk diri sendiri, apalagi untuk dosa, tetapi untuk kebaikan. Menjauhi maksiat dan menghadirkan manfaat adalah jalan menuju kehidupan yang sejati—baik di dunia maupun di akhirat. Sebab pada akhirnya, yang kita cari bukanlah pujian manusia, tetapi ridha Tuhan.


Penulis Azhari