“Anakmu bukan hanya butuh uang sekolah, tapi juga penjagaan dari cinta yang salah dan pergaulan yang menyesatkan.”
Sekolah Bukan Tempat Asmara, Tapi Ladang Masa Depan
Setiap pagi, jutaan orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah dengan doa dan harapan.
Mereka ingin sang anak menjadi cerdas, berakhlak, dan sukses. Namun, tanpa disadari, banyak anak justru tersesat di jalan asmara sebelum mengerti arti cita-cita.
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat menanam ilmu, kini di beberapa tempat telah menjadi ruang benih asmara muda.
Mulai dari tatapan mata di kelas, pesan singkat di media sosial, hingga pertemuan diam-diam di luar jam belajar — semua bisa menjadi pintu masuk ke petaka pergaulan yang melampaui batas.
Mungkin bagi sebagian orang hal itu terlihat sepele. “Namanya juga anak muda,” kata sebagian.
Namun, dari “hal kecil” itulah banyak masa depan hancur, nilai menurun, bahkan martabat tercoreng.
Asmara di Usia Sekolah: Benih Luka yang Belum Waktunya Tumbuh
Cinta di usia remaja ibarat bunga yang tumbuh sebelum musimnya. Ia tampak indah, tapi rapuh dan mudah layu.
Anak sekolah belum memahami konsekuensi dari perasaan cinta. Mereka baru belajar mengenal diri, belum mampu menimbang arah dan tanggung jawab.
Namun, dorongan rasa ingin tahu dan pengaruh lingkungan sering membuat mereka tergoda untuk “merasakan cinta”.
Dari sinilah petaka asmara sering bermula.
Cinta yang seharusnya suci berubah menjadi permainan emosi.
Hubungan yang awalnya hanya saling menyemangati berubah menjadi candu yang menguras waktu dan semangat belajar.
Tak jarang, hubungan itu menimbulkan konflik, stres, bahkan keputusasaan ketika salah satu merasa dikhianati.
Lebih buruk lagi, ada yang terseret dalam pergaulan bebas, kehilangan kehormatan, dan menyesal seumur hidup.
Semua itu berawal dari rasa cinta yang tak dijaga dan pergaulan yang tak diawasi.
Peran Orang Tua: Jangan Cuma Bayar Sekolah, Tapi Juga Jaga Pergaulan
Banyak orang tua merasa tugasnya selesai ketika anak berangkat sekolah. Padahal, pendidikan sejati bukan hanya soal akademik, tapi juga pembentukan moral dan kontrol sosial.
Orang tua perlu tahu dengan siapa anak bergaul, bagaimana perilaku teman-temannya, serta apa saja aktivitas mereka di media sosial.
Bukan untuk mengekang, tapi untuk menjaga.
Karena dunia hari ini jauh lebih terbuka dan berisiko dibanding masa lalu.
Satu pesan salah di ponsel bisa menjadi awal hubungan yang menghancurkan masa depan.
Sebagian orang tua merasa sungkan untuk membicarakan soal cinta dan pergaulan dengan anak. Padahal, jika orang tua diam, maka dunia luar akan lebih cepat “mengajari” mereka dengan cara yang salah.
Bicaralah dari hati ke hati.
Tumbuhkan kesadaran bahwa cinta bukanlah dosa, tapi ada waktunya.
Bahwa cinta sejati tidak menjerumuskan, tetapi membimbing ke arah kebaikan.
Dan bahwa menjaga diri adalah bentuk cinta yang paling tinggi kepada Allah dan kepada diri sendiri.
Guru dan Sekolah Juga Punya Tanggung Jawab Moral
Guru bukan hanya pengajar, tapi juga pembimbing karakter.
Sekolah seharusnya memiliki sistem pembinaan dan pengawasan yang kuat agar lingkungan belajar tetap sehat.
Perlu ada edukasi tentang bahaya hubungan asmara dini, literasi digital, serta pendidikan akhlak yang kontekstual.
Sebuah pesan penting: jangan biarkan anak merasa “lebih diperhatikan” oleh teman lawan jenis ketimbang oleh guru dan orang tuanya.
Sebab banyak kasus asmara remaja terjadi karena rasa kosong dan kurangnya kasih sayang di rumah.
Ketika anak tidak mendapatkan perhatian yang hangat, mereka mencarinya di luar — dan di situlah bahaya sering bermula.
Media Sosial: Ruang Baru yang Menyuburkan Asmara Remaja
Dulu, cinta remaja terbatas pada surat dan tatap muka.
Kini, dunia digital membuka pintu tanpa batas.
Instagram, TikTok, WhatsApp, hingga game online — semuanya bisa menjadi tempat bertemunya dua hati yang belum siap.
Dari “DM kecil” bisa tumbuh “rasa besar”, dari obrolan malam bisa lahir hubungan yang berujung air mata.
Media sosial bukanlah musuh, tapi tanpa pengawasan dan pemahaman, ia bisa menjadi ladang dosa dan fitnah.
Orang tua harus melek digital.
Awasi aktivitas anak, dampingi penggunaan gawai, dan ajarkan adab bermedia.
Karena di balik layar kecil itu, masa depan bisa rusak dalam hitungan detik.
Bangun Ketahanan Moral Anak Sejak Dini
Menjaga anak dari petaka asmara dan pergaulan tidak cukup dengan larangan, tapi dengan pembentukan karakter dan nilai.
Ajarkan anak untuk mencintai dirinya, menghormati orang lain, dan berani berkata “tidak” pada hal yang salah.
Tumbuhkan rasa bangga menjadi pelajar yang berprestasi, bukan remaja yang populer karena kisah cinta.
Bangun komunikasi yang terbuka. Dengarkan cerita mereka tanpa menghakimi.
Ketika anak merasa aman berbicara dengan orang tuanya, ia tidak akan mencari tempat lain untuk melampiaskan perasaannya.
Cinta yang Sejati Akan Datang di Waktu yang Tepat
Ingatkan anak bahwa cinta sejati tidak terburu-buru.
Cinta sejati tidak hadir di bangku sekolah, tapi di masa ketika mereka sudah siap memikul tanggung jawab dan menjadi pribadi yang matang.
Tugas anak sekolah adalah belajar, beribadah, dan mempersiapkan masa depan.
Bukan menulis puisi cinta, tapi menulis prestasi.
Katakan kepada anakmu:
“Nak, bukan cinta yang harus kamu kejar, tapi cita-cita. Karena jika kamu berhasil, cinta yang benar akan datang dengan sendirinya.”
Penutup: Didik dengan Cinta, Jaga dengan Doa
Setiap anak adalah amanah. Dan amanah tidak boleh dibiarkan tumbuh tanpa penjagaan.
Dunia hari ini penuh jebakan: dari media sosial, tontonan, hingga gaya hidup modern.
Karena itu, orang tua harus hadir bukan hanya sebagai pemberi uang saku, tapi sebagai pelindung hati dan penuntun jiwa.
Jagalah anakmu dari cinta yang belum waktunya.
Lindungi mereka dari pergaulan yang bisa mencuri masa depan.
Ajarkan bahwa cinta terbaik bukan yang membuat lupa diri, tapi yang membuat mereka ingin menjadi lebih baik.
Cinta sejati akan datang ketika waktunya tiba —
dan saat itu, mereka akan berterima kasih karena orang tuanya pernah menjaga dari cinta yang salah.
Penulis Azhari advokat