Di zaman digital ini, perdebatan tak lagi terjadi di ruang kajian atau diskusi ilmiah, tetapi di kolom komentar media sosial. Orang berlomba menjadi paling benar, bukan berdasarkan ilmu, tapi berdasarkan selera berpikir. Bahkan, ketika menanggapi pantun atau kutipan sederhana, banyak yang membalas dengan nada emosional, seolah kebenaran adalah milik pribadi dan bukan milik Tuhan.
Fenomena ini menandai zaman berpikir yang relatif—zaman ketika kebenaran tak lagi diukur dari dalil dan akal sehat, tapi dari “apa yang aku suka” dan “apa yang cocok dengan pikiranku.”
Ketika Kebenaran Menjadi Subjektif
Media sosial telah menjadi panggung besar tempat manusia memamerkan pendapat. Tak ada lagi batas antara ahli dan awam, antara ilmu dan selera. Semua merasa berhak bicara tentang agama, moral, bahkan tentang Tuhan, hanya berbekal kutipan singkat dan keyakinan diri.
Padahal, Islam sejak awal membedakan antara pendapat (ra’y) dan kebenaran (haqq). Pendapat bisa berubah sesuai waktu dan suasana, tapi kebenaran bersumber dari Allah dan tetap abadi.
“Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu.” (QS. Al-Kahfi: 29).
Namun, di dunia maya yang serba cepat, orang tak sempat lagi mencari sumber dan dalil. Mereka hanya mencari pembenaran yang sejalan dengan egonya. Itulah berpikir relatif: ketika kebenaran dipersempit menjadi cermin diri, bukan cermin Ilahi.
Balas Pantun, Tapi Kehilangan Makna
Dulu, pantun adalah sarana bijak orang Melayu untuk menasihati dengan halus. Ia adalah seni berpikir yang berakar dari kesopanan dan kebijaksanaan. Tapi kini, pantun sering dijadikan ajang debat dan sindiran di media sosial—disertai komentar pedas dan serangan personal.
Pantun yang seharusnya menumbuhkan senyum berubah menjadi alat melukai. Sebab yang membalas bukan hati yang lembut, melainkan ego yang tersinggung.
Ketika orang membalas pantun dengan amarah, maka yang mati bukan logika, tapi adab. Islam mengajarkan, kebenaran tidak boleh disampaikan dengan cara yang kasar, meski kita merasa benar. Allah berfirman kepada Nabi Musa saat menghadapi Fir’aun:
“Berkatalah kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44).
Jika kepada Fir’aun pun Allah memerintahkan kelembutan, apalagi kepada sesama pengguna media sosial yang sedang berbeda pandangan.
Kebenaran Bukan Keinginan
Salah satu penyakit zaman ini adalah ketika kebenaran dijadikan alat untuk memperkuat keinginan. Orang mencari ayat bukan untuk tunduk kepada Allah, tetapi untuk meneguhkan dirinya. Mereka membaca bukan untuk mengerti, tapi untuk membenarkan apa yang sudah mereka yakini sejak awal.
Imam Al-Ghazali menyebut gejala ini sebagai ta’assub — fanatisme akal terhadap dirinya sendiri. Dalam Ihya’ Ulumuddin, ia menulis: “Orang yang mencari kebenaran demi membenarkan dirinya akan sesat, sedangkan orang yang mencari kebenaran untuk tunduk kepada-Nya akan diberi petunjuk.”
Inilah akar dari berpikir relatif: ketika setiap orang menjadi hakim bagi kebenarannya sendiri. Mereka tak lagi tunduk kepada ilmu, melainkan kepada ego. Maka perdebatan pun tak lagi mencari cahaya, melainkan hanya mempertebal bayang-bayang.
Dunia Maya dan Hilangnya Kedalaman
Media sosial menciptakan ruang cepat: orang membaca sepintas, lalu langsung menilai. Tak ada waktu untuk tafakur atau tadabbur. Segala hal serba instan, termasuk pemahaman.
Akhirnya, lahirlah generasi yang pandai menilai tapi malas memahami. Pandai berbicara tapi miskin merenung.
Padahal, Islam mengajarkan berpikir yang tenang dan bertahap. Al-Qur’an sendiri tidak turun sekaligus, melainkan berangsur-angsur selama 23 tahun—sebagai simbol bahwa kebenaran harus diserap dengan proses, bukan dikutip dengan tergesa-gesa.
Berpikir relatif yang tumbuh di media sosial menimbulkan satu bahaya besar: hilangnya otoritas ilmu dan ulama. Orang tak lagi mencari guru, cukup mencari konten yang cocok dengan pikirannya.
Antara Tafakur dan Reaksi
Perbedaan mendasar antara orang beriman dan orang yang hanya mengikuti arus media sosial adalah cara berpikirnya.
Orang beriman bertafakur — merenung, menimbang, dan menundukkan diri kepada kebenaran meski bertentangan dengan dirinya.
Sedangkan orang yang berpikir relatif hanya bereaksi — cepat tersinggung, cepat menghakimi, cepat merasa benar.
Padahal, kebenaran dalam Islam tidak pernah bergantung pada siapa yang mengucapkannya. Seorang ulama berkata:
“Lihatlah apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan.”
Artinya, ukuran kebenaran bukan popularitas atau jumlah pengikut, melainkan kejujuran akal dan hati dalam mencari ridha Allah.
Menjadi Bijak di Dunia Maya
Berpikir relatif bisa diatasi bila kita kembali pada akhlak berpikir Islami.
Beberapa prinsip yang perlu dihidupkan kembali antara lain:
-
Tahan diri sebelum menilai. Jangan tergesa-gesa membalas komentar atau pantun sebelum memahami maksudnya. Kadang, diam lebih bijak daripada membalas dengan emosi.
-
Pisahkan pendapat dan kebenaran. Pendapat bisa salah, tapi kebenaran tidak berubah. Maka carilah kebenaran, bukan kemenangan.
-
Gunakan akal dan adab bersamaan. Akal tanpa adab melahirkan kesombongan, adab tanpa akal melahirkan kebodohan.
-
Hormati perbedaan pandangan. Dalam fikih saja, ulama berbeda pendapat dengan dalil yang sama. Maka tidak perlu marah jika orang berbeda dalam pandangan sosial atau budaya.
-
Kembalikan semua pada niat. Jika tujuan kita berdiskusi untuk mencari ridha Allah, maka tidak ada alasan untuk saling menjatuhkan.
Dunia yang Butuh Kedewasaan Berpikir
Kebenaran dalam Islam bersifat absolut, tapi cara memahami kebenaran bisa relatif. Maka, tugas manusia bukan menuhankan pikirannya, tapi mengarahkan pikirannya kepada Tuhan.
Kita boleh berbeda dalam pendapat, tapi jangan menjadikan perbedaan itu alasan untuk memutus tali silaturahmi atau mencaci sesama.
Dunia digital membutuhkan manusia yang bukan hanya cerdas, tapi juga beradab.
Karena semakin luas ruang bicara, semakin besar pula tanggung jawab moral.
Setiap kata yang ditulis akan menjadi saksi. Allah berfirman:
“Tidak ada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18).
Maka, balaslah pantun dengan pantun yang menenangkan, bukan yang menyalakan api. Jadilah penenang di tengah keributan, bukan penambah gaduh di antara ego yang saling berebut benar.
P Kebenaran yang Tidak Tergantung pada Kita
Pada akhirnya, berpikir relatif adalah bentuk pencarian yang kehilangan arah. Kebenaran sejati tidak tunduk pada keinginan manusia, tetapi manusia-lah yang seharusnya tunduk pada kebenaran itu.
Islam tidak melarang berpikir, tapi memberi arah agar akal tidak tersesat dalam labirin nafsu. Maka berpikirlah dengan hati, bukan hanya dengan emosi.
Sebab kebenaran bukan apa yang menyenangkan kita, tapi apa yang menuntun kita kepada Allah.
“Mereka mencintai kebatilan dan membenci kebenaran, padahal kebenaran itulah yang akan membebaskan mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 78).
Jadi, berhentilah mencari kebenaran yang sesuai keinginan. Carilah keinginan yang sesuai dengan kebenaran. Karena pada akhirnya, bukan siapa yang paling pandai membalas pantun yang menang, tapi siapa yang paling tenang dalam kebenaran yang hakiki.
Penulis Azhari