Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

HIKMAH POLIGAMI: ANTARA KEADILAN HUKUM DAN KESUCIAN NIAT

Minggu, 19 Oktober 2025 | 10:34 WIB Last Updated 2025-10-19T03:34:40Z




 Fenomena yang Tak Pernah Usai

Poligami selalu menjadi tema yang hangat dan sensitif dalam perbincangan hukum Islam dan realitas sosial. Sebagian menganggap poligami sebagai sunnah yang mulia, sebagian lain melihatnya sebagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Dalam masyarakat modern, isu ini sering diseret ke ranah kontroversial — seolah-olah poligami adalah simbol kekuasaan laki-laki atas perempuan. Padahal, jika ditinjau dari perspektif hukum Islam, poligami bukanlah hak yang bebas tanpa batas, melainkan tanggung jawab berat yang memerlukan keadilan, moralitas, dan kesucian niat.


1. Dasar Hukum Poligami dalam Islam

Poligami dalam Islam memiliki legitimasi kuat berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam QS. An-Nisa ayat 3, Allah berfirman:

“Maka nikahilah wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.”

Ayat ini bukan perintah untuk berpoligami, melainkan izin bersyarat. Artinya, poligami hanya boleh dilakukan bila seseorang mampu menegakkan keadilan yang hakiki. Bahkan pada ayat lain, QS. An-Nisa: 129, Allah menegaskan:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.”

Kedua ayat ini menunjukkan keseimbangan hukum Islam: membuka ruang bagi poligami, namun menegaskan bahwa keadilan adalah prasyarat mutlak. Maka, poligami bukan perkara jumlah istri, melainkan ujian moral dan tanggung jawab spiritual.


2. Hukum Positif Indonesia: Poligami dalam Bingkai Legalitas

Dalam hukum nasional, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan batasan ketat terhadap poligami.

Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan:

“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”

Sementara Pasal 4 dan 5 mengatur syarat utama:

  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
  2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
  3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
  4. Suami wajib mendapat persetujuan dari istri pertama dan izin dari Pengadilan Agama.

Artinya, poligami bukan sekadar keinginan, tetapi harus melalui mekanisme hukum yang sah dan transparan. Tanpa izin pengadilan, poligami dianggap melanggar tata tertib hukum administrasi negara dan dapat berakibat hukum perdata maupun pidana.


3. Poligami dalam Sejarah Rasulullah ﷺ

Bila menelusuri kehidupan Rasulullah ﷺ, poligami dilakukan bukan karena hawa nafsu, tetapi karena pertimbangan dakwah, sosial, dan kemanusiaan.

Setelah wafatnya Khadijah ra, Rasulullah menikahi beberapa istri dalam konteks:

  • Perlindungan sosial: seperti pernikahan dengan Saudah binti Zam’ah, seorang janda tua yang ditinggal mati suaminya karena jihad.
  • Persaudaraan umat: seperti pernikahan dengan Hafshah binti Umar dan Ummu Salamah untuk mempererat hubungan antar-sahabat.
  • Misi dakwah: seperti pernikahan dengan Juwairiyah binti al-Harits dan Shafiyyah binti Huyay, yang menjadi jalan masuk Islam bagi suku-suku musuh Islam.

Dari sini tampak bahwa hikmah poligami bukan pada pemuasan diri, melainkan pada maslahat umat dan kemanusiaan. Rasulullah adalah contoh bahwa poligami harus disertai dengan niat yang suci, tanggung jawab besar, dan keadilan sempurna.


4. Hikmah Poligami dalam Perspektif Hukum dan Moral

a. Menjaga Hak Perempuan dan Anak

Dalam konteks sosial tertentu, poligami menjadi solusi bagi perempuan yang ditinggal mati suami, janda perang, atau perempuan yang sulit mendapat pasangan. Dengan poligami, mereka memiliki pelindung hukum dan status sosial yang sah.

b. Menghindari Zina dan Perzinaan

Ketika seorang laki-laki memiliki kemampuan nafkah dan tanggung jawab, poligami dapat menjadi cara legal untuk menyalurkan kebutuhan biologis dengan cara yang bermartabat dan halal. Hukum Islam mengatur hal ini agar tidak terjadi pelampiasan nafsu di luar pernikahan.

c. Menjaga Keturunan dan Keberlanjutan Generasi

Dalam beberapa kasus, istri pertama tidak dapat memberikan keturunan. Poligami, bila dilakukan secara adil dan sah, menjadi solusi hukum agar suami tidak tergoda pada perzinaan, sekaligus menjaga garis keturunan yang sah secara syar‘i dan legal.

d. Ujian Keadilan dan Kesabaran

Poligami bukan kemewahan, melainkan ujian berat bagi suami dan istri. Suami diuji untuk berlaku adil, sementara istri diuji kesabarannya dalam menerima takdir. Dalam hikmah ini, poligami justru melahirkan nilai-nilai spiritual: ketulusan, pengorbanan, dan kedewasaan iman.


5. Bahaya Poligami yang Tidak Sesuai Hukum

Meski memiliki hikmah, poligami juga dapat menjadi sumber kerusakan sosial jika dilakukan tanpa kejelasan hukum dan moral.
Beberapa dampak negatifnya antara lain:

  • Nikah siri tanpa izin: menyebabkan perempuan dan anak kehilangan perlindungan hukum.
  • Kekerasan dalam rumah tangga: karena suami tidak mampu berlaku adil atau melakukan pemaksaan.
  • Sengketa waris dan status anak: anak dari istri kedua sering tidak diakui secara hukum.
  • Citra buruk terhadap Islam: ketika poligami disalahartikan sebagai pembenaran nafsu.

Oleh karena itu, hukum Islam dan hukum negara sama-sama menegaskan: poligami harus dijalankan dalam bingkai keadilan dan tanggung jawab hukum.


6. Keadilan: Fondasi Poligami dalam Syariat

Keadilan dalam poligami bukan hanya adil dalam harta, tapi juga adil dalam kasih sayang, waktu, perhatian, dan hak moral.

Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa adil adalah syarat mutlak, bukan sekadar anjuran. Sementara Imam Syafi’i menilai, bila suami tidak mampu adil, maka menikah satu istri lebih utama dan lebih aman dari dosa.

Dalam konteks hukum, keadilan berarti:

  • Tidak menelantarkan istri pertama.
  • Tidak menyembunyikan pernikahan kedua.
  • Tidak mengurangi hak nafkah lahir dan batin.
  • Tidak menipu dalam proses akad nikah.

Maka, hikmah poligami terletak pada keadilan, bukan pada jumlah. Bila keadilan hilang, maka hilanglah seluruh kemuliaan poligami itu sendiri.


7. Poligami di Era Modern: Antara Romantisme dan Realitas Hukum

Di era media sosial, banyak orang menampilkan poligami sebagai “trend religius”. Namun sesungguhnya, poligami bukan konten untuk ditonton, melainkan komitmen berat untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan hukum.

Perempuan juga perlu berhati-hati. Kesediaan untuk “dipoligami” harus diiringi kesadaran hukum dan keikhlasan yang benar. Jangan sampai menjadi korban dari permainan cinta yang tidak diakui negara. Karena poligami tanpa legalitas sama saja dengan menggadaikan kehormatan dalam kemasan agama.


8. Penutup: Poligami, Jalan yang Tidak Wajib Ditempuh Semua Orang

Poligami bukan kewajiban, bukan juga keharusan. Ia adalah ruang kelonggaran (rukhshah) yang dibuka oleh Islam bagi yang mampu adil, bertanggung jawab, dan berniat tulus.

Namun, dalam banyak kasus, monogami justru menjadi jalan terbaik untuk menjaga keutuhan rumah tangga dan ketenangan hati.

Hikmah sejati dari poligami bukanlah kebanggaan atas banyaknya istri, tetapi ujian berat menuju keadilan dan ketakwaan. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

“Barang siapa memiliki dua istri lalu ia condong kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

Poligami adalah amanah, bukan privilese. Ia bisa menjadi ibadah yang agung, tapi juga bisa menjadi dosa besar, tergantung pada niat, cara, dan keadilannya.


Penulis Azhari