Poligami di Persimpangan Syariat dan Realitas Sosial
Dalam perjalanan sejarah Islam dan masyarakat Aceh yang kental dengan nilai-nilai agama, perbincangan tentang poligami selalu menghadirkan dua wajah: satu yang bernuansa keagamaan dan penuh hikmah, dan satu lagi yang beraroma sosial—penuh luka, cemburu, dan ketimpangan.
Poligami bukan sekadar isu rumah tangga, melainkan bagian dari dinamika hukum dan sosial yang menyentuh nilai moral, keadilan, serta perlindungan perempuan.
Islam tidak pernah memerintahkan poligami sebagai kewajiban, tetapi membolehkannya dalam batas keadilan dan kemaslahatan. Sayangnya, dalam kehidupan modern, praktik poligami sering kehilangan ruh keadilannya. Banyak yang menjadikan poligami sebagai justifikasi hawa nafsu, bukan sebagai sarana ibadah dan perlindungan sosial. Di sinilah hukum Islam dan hukum positif perlu berpadu untuk memastikan bahwa poligami tidak disalahgunakan, tetapi dijalankan sesuai tujuan syariat — li tahqiq al-maslahah wa dar’ al-mafsadah (untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan).
I. Landasan Teologis dan Filosofis Poligami
Islam menempatkan poligami sebagai rukhshah (keringanan hukum) bagi laki-laki yang mampu menegakkan keadilan. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 3:
“Maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) satu saja...”
Ayat ini bukan sekadar pembolehan, tetapi juga peringatan keras. Kalimat penutup “jika kamu khawatir tidak adil maka satu saja” menunjukkan bahwa keadilan adalah syarat mutlak. Artinya, Islam membolehkan poligami hanya bila tidak menimbulkan kedzaliman.
Dalam sejarah Rasulullah SAW, poligami dijalankan bukan untuk memuaskan nafsu, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab sosial — menolong janda para syuhada, memperkuat ukhuwah dakwah, dan menyebarkan ajaran Islam. Rasulullah SAW menikahi para istri dalam konteks sosial, bukan semata-mata pribadi. Ini membuktikan bahwa poligami dalam Islam memiliki dimensi hikmah kemasyarakatan, bukan sekadar urusan perasaan.
II. Perspektif Hukum Positif Indonesia terhadap Poligami
Dalam sistem hukum nasional, asas perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 3 ayat (1) menegaskan asas monogami, namun Pasal 3 ayat (2) membuka ruang poligami dengan syarat tertentu dan izin pengadilan.
Sementara itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Pasal 55–59 menjabarkan lebih detail alasan yang membolehkan poligami, yaitu:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajiban lahir batin.
- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
- Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain itu, izin dari istri pertama dan izin Pengadilan Agama menjadi syarat formal yang menentukan sah tidaknya poligami secara hukum negara.
Artinya, hukum positif Indonesia tidak menolak syariat poligami, tetapi mengatur dan mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan. Di sini, hukum negara berfungsi menjaga keadilan dan keseimbangan hak perempuan dalam bingkai hukum modern.
III. Qanun Poligami di Aceh: Mengisi Kekosongan Hukum dan Moral
Sebagai daerah yang menjalankan otonomi khusus dengan penerapan syariat Islam melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Aceh memiliki kewenangan untuk membentuk Qanun Keluarga Islam, termasuk pengaturan tentang poligami.
Saat ini, Aceh memang sudah memiliki Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dan Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, tetapi belum ada Qanun khusus yang mengatur tata cara poligami secara komprehensif. Akibatnya, praktik poligami di lapangan sering berjalan tanpa mekanisme hukum yang jelas, bahkan tanpa pencatatan di Mahkamah Syar’iyah.
Padahal, dalam banyak kasus, poligami tanpa izin menyebabkan:
- Istri kedua tidak diakui hukum,
- Anak tidak bisa mendapatkan akta kelahiran resmi,
- Sengketa warisan,
- Kekerasan psikologis dan sosial terhadap perempuan.
Maka, Qanun Poligami diperlukan sebagai instrumen pengaturan dan perlindungan, bukan sekadar legalisasi. Ia harus memastikan bahwa poligami dijalankan dengan niat ibadah, kemampuan ekonomi, keadilan emosional, dan tanggung jawab sosial.
IV. Prinsip-Prinsip Hukum dalam Rancangan Qanun Poligami
Qanun Poligami yang ideal bagi Aceh seharusnya dibangun atas fondasi maqasid al-syariah (tujuan syariat), dengan mempertimbangkan aspek hukum Islam, keadilan sosial, dan hak perempuan.
Beberapa prinsip yang bisa menjadi dasar penyusunan Qanun tersebut antara lain:
-
Prinsip Keadilan (al-‘Adl)
- Laki-laki yang ingin berpoligami wajib diuji kemampuannya dalam hal keuangan, tanggung jawab moral, dan kesehatan mental.
- Mahkamah Syar’iyah harus menilai objektif, bukan hanya berdasarkan pengakuan sepihak.
-
Prinsip Persetujuan dan Keterbukaan (Ridha wa Mushafahah)
- Istri pertama harus mengetahui dan memberikan persetujuan tertulis.
- Tidak boleh ada pernikahan “sembunyi-sembunyi” dengan dalih agama.
-
Prinsip Perlindungan Perempuan dan Anak (Hifz al-Nasl)
- Istri kedua dan anak-anak harus dijamin haknya dalam hukum waris, nafkah, dan status hukum.
- Qanun harus mengatur mekanisme pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama dan Mahkamah Syar’iyah.
-
Prinsip Uji Kelayakan (Taqdir al-Istitha‘ah)
- Calon suami wajib melalui proses pemeriksaan ekonomi dan psikologis oleh lembaga resmi.
- Ini untuk memastikan bahwa poligami dilakukan bukan karena nafsu, tetapi karena tanggung jawab dan kemampuan.
-
Prinsip Kemaslahatan (Maslahah al-‘Ammah)
- Poligami hanya boleh dilakukan jika membawa manfaat nyata bagi keluarga dan masyarakat, bukan menimbulkan kerusakan sosial.
V. Analisis Sosial: Antara Idealitas dan Kenyataan
Dalam kenyataan masyarakat Aceh, sebagian poligami justru dilakukan dengan cara yang melanggar hukum dan moral.
Banyak suami menikah siri tanpa izin istri pertama, bahkan ada yang menelantarkan anak-anak dari istri pertama setelah memiliki keluarga baru.
Fenomena ini tidak hanya merusak struktur keluarga, tetapi juga menciptakan ketidakadilan gender yang bertentangan dengan prinsip Islam.
Padahal, poligami dalam sejarah Islam bukan simbol kesewenang-wenangan, tetapi bentuk ihsan (kebaikan) untuk menolong perempuan yang lemah atau tidak memiliki perlindungan ekonomi.
Ironisnya, dalam masyarakat modern, poligami sering diidentikkan dengan simbol status sosial atau pelarian dari tanggung jawab rumah tangga.
Oleh karena itu, penyusunan Qanun Poligami harus melibatkan ahli fikih, akademisi hukum, psikolog keluarga, dan lembaga perempuan agar rumusannya tidak hanya legal, tetapi juga berperspektif keadilan dan kemanusiaan.
VI. Peran Mahkamah Syar’iyah dan MPU Aceh
Kedua lembaga ini memiliki posisi strategis dalam implementasi Qanun Poligami:
-
Mahkamah Syar’iyah
- Bertugas menilai, menguji, dan memberikan izin poligami berdasarkan bukti keadilan, kemampuan, dan ridha istri.
- Dapat memerintahkan mediasi terlebih dahulu antara suami dan istri sebelum izin diberikan.
-
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh
- Dapat memberikan fatwa, pedoman, dan bimbingan moral bagi umat agar tidak menyalahgunakan poligami.
- MPU juga perlu mengeluarkan rekomendasi terhadap calon yang ingin berpoligami, untuk memastikan niat dan kesiapan spiritual.
Dengan demikian, Qanun Poligami tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi sinkronisasi antara hukum, moral, dan keadilan sosial.
VII. Poligami dalam Perspektif Kemaslahatan Umat
Poligami bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan jalan alternatif yang diatur secara syar’i untuk menjaga kemaslahatan. Dalam situasi tertentu, poligami dapat menjadi solusi sosial — misalnya untuk perempuan yang kehilangan suami akibat konflik, bencana, atau kesulitan ekonomi.
Namun, hikmah ini hanya dapat terwujud bila dijalankan dengan prinsip tanggung jawab dan keadilan.
Tanpa itu, poligami justru menjadi sumber kehancuran.
Sebagaimana dikatakan Umar bin Khattab:
“Keadilan bukanlah memberi sama rata, tetapi menempatkan sesuatu pada tempatnya.”
Keadilan dalam poligami berarti suami menunaikan hak setiap istri dengan proporsional, memperlakukan mereka dengan hormat, dan tidak menjadikan salah satunya sebagai korban perasaan atau ekonomi.
VIII. Rekomendasi Konseptual untuk Rancangan Qanun Poligami Aceh
Untuk menjamin kemaslahatan dan menghindari penyalahgunaan, Qanun Poligami Aceh perlu memuat beberapa pasal penting, antara lain:
- Pasal 1: Definisi poligami dan ruang lingkup hukum yang diatur.
- Pasal 2: Tujuan Qanun Poligami – menjaga keadilan, melindungi perempuan, dan menegakkan nilai syariat.
- Pasal 3–5: Syarat substantif poligami: keadilan, kemampuan, dan persetujuan istri.
- Pasal 6–8: Syarat administratif: izin Mahkamah Syar’iyah, pemeriksaan ekonomi dan kesehatan.
- Pasal 9: Perlindungan hukum bagi istri dan anak hasil poligami, termasuk hak waris dan nafkah.
- Pasal 10: Sanksi bagi pelaku poligami tanpa izin resmi (misalnya denda administratif atau tidak diakui secara hukum).
- Pasal 11: Ketentuan pencatatan dan pelaporan pernikahan ganda di tingkat kabupaten/kota.
- Pasal 12: Ketentuan pembinaan dan evaluasi oleh MPU serta Dinas Syariat Islam.
Dengan struktur demikian, Qanun Poligami dapat menjadi instrumen hukum yang tidak hanya membatasi, tetapi juga membimbing masyarakat menuju pelaksanaan syariat yang adil dan maslahat.
IX. Poligami sebagai Amanah, Bukan Privilege
Poligami adalah amanah besar, bukan sekadar hak laki-laki.
Ia menuntut tanggung jawab spiritual, keadilan sosial, dan kesiapan moral. Seorang suami yang berpoligami tanpa keadilan berarti menzalimi dirinya sendiri dan melanggar prinsip dasar Islam.
Di Aceh, penerapan Qanun Poligami diharapkan menjadi jalan tengah antara kebebasan dan ketertiban hukum, antara nafsu dan tanggung jawab, antara keinginan pribadi dan kemaslahatan umat.
Hukum yang hidup bukanlah hukum yang keras, melainkan hukum yang adil, membimbing, dan melindungi.
Demikian pula poligami — bukan simbol kekuasaan, melainkan ujian kesungguhan dalam menegakkan nilai keluarga Islami.
“Keadilan adalah ruh dari poligami. Tanpa keadilan, poligami hanya menjadi wajah baru dari kezaliman.”
Aceh perlu memimpin dengan kebijaksanaan — melalui Qanun Poligami yang menjaga kehormatan perempuan, menegakkan tanggung jawab laki-laki, dan menghadirkan keadilan bagi seluruh umat.
Penulis Azhari