Dalam perjalanan rumah tangga, sering kali orang berpikir bahwa masalah terbesar datang dari ekonomi, dari pekerjaan, atau dari urusan anak-anak. Padahal, banyak rumah tangga yang retak bukan karena kurang harta, melainkan karena kurang menjaga bahasa. Kata-kata yang seharusnya menjadi jembatan kasih, berubah menjadi jurang yang memisahkan.
Bahasa adalah cermin hati. Ia bisa menghangatkan, menenangkan, sekaligus menyembuhkan. Namun ia juga bisa melukai, meruntuhkan kepercayaan, dan bahkan merobohkan cinta yang telah dibangun bertahun-tahun. Itulah mengapa menjaga tutur kata dengan suami selagi ada adalah sebuah keharusan, bukan pilihan.
Bahasa sebagai Ladang Pahala
Dalam Islam, ucapan yang baik adalah bagian dari amal shaleh. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Pesan ini sederhana tetapi mendalam. Ia mengajarkan bahwa setiap kata yang keluar dari mulut kita bukanlah hal sepele, melainkan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Bagi seorang istri, menjaga bahasa kepada suami bukan hanya bentuk adab, tetapi juga ibadah. Satu kata lembut bisa menjadi pahala, sementara satu kata kasar bisa menghapus sekian banyak kebaikan. Jika rumah tangga diibaratkan sebagai sebuah taman, maka kata-kata yang lembut adalah air yang menyirami bunga, sedangkan kata-kata kasar adalah racun yang mematikan akarnya.
Luka yang Tidak Terlihat
Banyak orang mengira bahwa luka itu hanya tampak ketika fisik tersakiti. Padahal, luka yang paling dalam seringkali tidak terlihat. Kata-kata yang diucapkan tanpa pikir panjang bisa meninggalkan bekas di hati pasangan. Suami mungkin tidak menangis di depan kita, tetapi jauh di dalam dirinya ia bisa merasa hancur, tidak dihargai, bahkan kehilangan kepercayaan diri.
Contohnya sederhana: seorang suami pulang dengan wajah lelah, berharap disambut senyum dan sapaan hangat. Namun yang ia dapat justru keluhan, amarah, atau ucapan merendahkan. “Kamu ini tidak bisa apa-apa!”, atau “Orang lain bisa sukses, kenapa kamu begini saja?”. Kalimat-kalimat itu terdengar biasa, tetapi dampaknya luar biasa. Pelan-pelan, cinta yang dulunya penuh warna bisa pudar.
Sebaliknya, satu kalimat sederhana seperti, “Terima kasih sudah berusaha untuk keluarga kita,” bisa menjadi energi yang menguatkan seorang suami. Ia akan merasa dihargai, dihormati, dan dicintai.
Selagi Masih Ada
Hidup ini penuh misteri. Kita tidak pernah tahu kapan Allah akan mengambil orang yang kita cintai. Banyak kisah nyata di sekitar kita tentang istri yang menyesal setelah kehilangan suami. Penyesalan itu bukan hanya karena kehilangan sosok pendamping, tetapi juga karena teringat bagaimana dulu mereka sering mengucapkan kata-kata kasar, membentak, atau berbicara tanpa menghargai.
Selagi suami masih ada, hargailah dengan tutur kata. Ucapkanlah yang baik, yang menenangkan, dan yang menguatkan. Jangan tunggu semuanya terlambat. Karena saat kematian datang, yang tersisa hanyalah kenangan. Dan alangkah perihnya jika kenangan itu dipenuhi kata-kata yang menyakitkan, bukan kalimat penuh cinta.
Bahasa sebagai Investasi Keharmonisan
Rumah tangga yang harmonis tidak lahir begitu saja. Ia dibangun dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan setiap hari. Salah satunya adalah kebiasaan berbicara dengan baik. Bahasa yang lembut bisa menjadi pondasi kuat bagi komunikasi, sedangkan bahasa yang kasar bisa menjadi bom waktu.
Tidak perlu muluk-muluk. Mulailah dari hal sederhana: menyapa dengan senyum, mengucapkan terima kasih, meminta tolong dengan sopan, dan menghindari kalimat yang merendahkan. Suami mungkin tidak selalu sempurna, tetapi ketika ia merasa dihargai lewat kata-kata, ia akan berusaha lebih baik untuk keluarga.
Bahasa juga bisa menjadi penentu arah rumah tangga. Dengan bahasa yang baik, suasana rumah menjadi damai. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan penuh cinta, mendengar orang tuanya saling menghormati. Sebaliknya, jika setiap hari mereka mendengar bentakan, cercaan, dan pertengkaran, maka luka itu akan diwariskan pada generasi berikutnya.
Belajar dari Kehidupan
Ada seorang istri yang bercerita, selama puluhan tahun menikah ia sering berbicara kasar kepada suaminya. Ia merasa wajar, karena suaminya dianggap tidak mampu memenuhi keinginannya. Namun setelah sang suami meninggal dunia, ia menyesal. “Saya tidak pernah mengucapkan terima kasih padanya, padahal ia selalu berusaha. Yang saya beri hanya kata-kata marah. Sekarang saya hanya bisa menangis.”
Kisah ini menjadi pelajaran bahwa menjaga bahasa bukanlah hal remeh. Kadang manusia baru sadar setelah kehilangan, padahal kesempatan untuk memperbaiki sudah tidak ada lagi.
Maka Menjaga bahasa dengan suami selagi ada adalah bentuk kasih sayang, penghargaan, sekaligus ibadah. Kata-kata yang baik bisa menjadi doa, bisa menjadi penguat, dan bisa menjadi perekat cinta. Jangan tunggu kehilangan baru menyadari betapa berharganya sebuah ucapan lembut.
Mulailah dari hari ini: sapa dengan senyum, ucapkan terima kasih, dan kurangi kata-kata yang melukai. Karena rumah tangga bukan hanya tentang bertahan hidup bersama, tetapi juga tentang menciptakan kebahagiaan lewat bahasa yang penuh cinta.
Penulis Azhari