Bangsa yang besar tidak runtuh karena kemiskinan, tetapi karena perpecahan di antara anak-anaknya. Ia tidak gagal karena kekurangan sumber daya, melainkan karena hilangnya semangat persatuan yang menjadi fondasi berdirinya negeri. Inilah kenyataan yang harus kita hadapi hari ini: bangsa yang berlimpah potensi, tapi terkadang miskin kehendak untuk bersatu.
Di tengah gemuruh politik, di antara bendera partai dan suara kepentingan, kita sering lupa bahwa musuh utama bukanlah lawan politik, melainkan kebodohan yang dipelihara oleh perpecahan. Ketika satu kelompok merasa paling benar, dan yang lain dianggap musuh yang harus disingkirkan, maka arah kemajuan bangsa pun mulai kabur. Kita terseret dalam pertikaian yang memakan energi, sementara dunia luar terus berlari mengejar kemajuan.
Indonesia, sejak awal berdiri, dibangun dari perbedaan. Para pendiri bangsa sadar betul bahwa kekuatan bukan terletak pada keseragaman, tetapi pada kemampuan untuk menghargai keberagaman. Namun sayangnya, semangat itu kini perlahan pudar, terkikis oleh ego sektoral, ambisi politik, dan kepentingan pribadi yang dibungkus dengan slogan nasionalisme palsu.
Ketika bangsa ini sibuk bertengkar, pembangunan berhenti di meja debat. Ketika rakyat di bawah butuh keadilan, para elit justru sibuk menakar siapa yang paling pantas berkuasa. Padahal, kekuasaan tanpa persatuan hanyalah ilusi. Sebuah pemerintahan yang hebat tidak bisa berdiri di atas perpecahan, sebagaimana kapal besar tidak akan berlayar di tengah ombak pertikaian yang tak kunjung reda.
Kegagalan bangsa tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh pelan-pelan, dimulai dari hilangnya rasa saling percaya, berlanjut pada politik saling menjatuhkan, hingga akhirnya menumbuhkan apatisme di tengah rakyat. Rakyat mulai muak pada janji, kecewa pada kebohongan, dan merasa tidak lagi memiliki negara yang mereka cintai. Di situlah bahaya sesungguhnya: ketika rakyat kehilangan harapan, maka bangsa kehilangan masa depan.
Kita tidak bisa terus membiarkan politik menjadi ajang permusuhan. Demokrasi memang membuka ruang perbedaan, tapi bukan berarti menghalalkan perpecahan. Demokrasi seharusnya menjadi sarana memperkuat persatuan — bukan memecah belah bangsa menjadi kubu yang saling mencurigai. Jika setiap pemilu menjadi ajang dendam dan permusuhan, maka kita sedang menulis naskah kegagalan nasional dengan tangan kita sendiri.
Sudah saatnya elit politik, tokoh masyarakat, dan generasi muda duduk dalam satu kesadaran bersama: bahwa Indonesia hanya bisa maju jika semua komponen bangsa bersatu. Persatuan bukan berarti meniadakan perbedaan, melainkan menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya. Kita boleh berbeda warna politik, tapi jangan berbeda dalam cita-cita: memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyat.
Lihatlah sejarah bangsa-bangsa besar. Mereka berhasil bukan karena tidak pernah berselisih, tapi karena mampu mengelola perbedaan menjadi kekuatan. Jepang, Korea, bahkan Jerman — semua pernah hancur, namun mereka bangkit karena satu tekad: bersatu demi masa depan. Sebaliknya, negara-negara yang gagal adalah mereka yang dibiarkan hancur oleh ego kelompok, korupsi, dan politik saling menyingkirkan.
Bangsa ini tidak butuh banyak slogan, tapi butuh banyak tindakan nyata. Persatuan harus dibuktikan dalam kerja — bukan hanya dalam pidato. Bila setiap pemimpin memikirkan kepentingan rakyat sebelum kepentingan partai, bila setiap pejabat memegang amanah lebih dari sekadar jabatan, maka kita akan melihat bangsa ini berdiri tegak di atas kemuliaan moral dan kekuatan kolektif.
Namun bila kita terus berjalan dalam perpecahan, maka kita sedang menuju jalan kegagalan yang pasti. Kegagalan bukan karena takdir, tetapi karena pilihan. Pilihan untuk saling menjauh, bukan saling mendekat. Pilihan untuk berdebat, bukan bekerja. Pilihan untuk berkuasa, bukan melayani.
Maka sebelum terlambat, marilah kita kembalikan semangat “Bhinneka Tunggal Ika” ke dalam denyut nadi politik dan kehidupan berbangsa. Kita tidak perlu seragam dalam berpikir, tapi harus seirama dalam tujuan. Sebab bila bangsa ini bersatu, gunung pun bisa kita pindahkan. Tapi bila kita terpecah, maka secuil batu pun terasa mustahil untuk diangkat.
Bangsa yang besar lahir dari rakyat yang bersatu. Persatuan bukan sekadar semboyan, melainkan fondasi yang menentukan apakah kita akan maju — atau kembali terperosok ke jalan kegagalan.
Penulis: Azhari
(Refleksi politik kebangsaan — tentang pentingnya persatuan di tengah badai kepentingan dan ego kekuasaan)