Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Jangan Cari Kebenaran Sesuai Selera, Tapi Sampaikan Kebenaran Walau Itu Pahit

Minggu, 12 Oktober 2025 | 21:12 WIB Last Updated 2025-10-12T14:12:20Z



Kebenaran bukanlah sesuatu yang bisa diatur sesuai keinginan, bukan pula barang yang bisa ditawar di pasar kepentingan. Dalam kehidupan sosial, politik, bahkan hukum, sering kali kita melihat bagaimana kebenaran dipelintir agar sesuai dengan selera dan kepentingan tertentu. Padahal, hakikat keadilan justru terletak pada keberanian menegakkan kebenaran apa adanya — meski pahit, meski menyinggung, bahkan meski mengundang kebencian dari banyak pihak.

Kita hidup di zaman ketika kebenaran sering dikalahkan oleh opini, dan keadilan disamarkan oleh kepentingan. Di media sosial, di ruang politik, bahkan di meja hukum, kebenaran seolah bisa disesuaikan dengan siapa yang berbicara. Orang tidak lagi bertanya “apa yang benar?”, tetapi “siapa yang diuntungkan?” Padahal, ukuran moral manusia yang sejati bukan diukur dari kepintarannya memanipulasi fakta, melainkan dari keberaniannya mengatakan kebenaran, meski ia harus berdiri sendirian.

Kebenaran yang disesuaikan dengan selera hanyalah topeng dari kebohongan. Ia tampak indah di permukaan, namun merusak dari dalam. Banyak pemimpin, pejabat, bahkan masyarakat biasa, terjebak dalam keinginan untuk “menyenangkan semua pihak”, hingga kehilangan keberanian untuk berkata benar. Dalam budaya seperti ini, keadilan mati perlahan. Sebab, tanpa kebenaran yang jujur, keadilan hanya menjadi kata tanpa makna.

Seseorang yang benar-benar adil tidak menimbang kebenaran berdasarkan siapa pelakunya. Ia tidak membela karena kedekatan, dan tidak menghukum karena kebencian. Ia menilai dengan hati yang bersih dan pikiran yang jernih. Itulah inti dari keadilan yang diajarkan oleh agama dan moralitas universal. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan untuk menegakkan keadilan sekalipun terhadap diri sendiri dan orang terdekat. Sebuah pesan yang menegaskan bahwa kebenaran tidak boleh tunduk pada rasa nyaman atau rasa takut.

Namun, keberanian menyampaikan kebenaran sering kali tidak mudah. Ia menuntut keteguhan hati dan kesiapan menanggung risiko. Orang yang berkata benar kadang dianggap musuh, dijauhi, bahkan dituduh menentang arus. Tetapi sejarah selalu membuktikan: justru mereka yang berani berkata benar di saat banyak orang diam, adalah yang dikenang sebagai pembawa perubahan. Kebenaran mungkin membuat kita sendirian untuk sementara, tapi kebohongan akan menelanjangi diri sendiri untuk selamanya.

Dalam konteks kehidupan berbangsa, keberanian menyampaikan kebenaran adalah fondasi moral bagi setiap pemimpin dan rakyat. Negara akan runtuh bila pejabatnya lebih sibuk menjaga citra daripada menjaga nurani. Hukum akan lumpuh bila aparatnya menimbang perkara dengan rasa takut, bukan rasa adil. Dan masyarakat akan hancur bila rakyatnya lebih memilih nyaman dalam kebohongan daripada gelisah dalam kebenaran.

Kebenaran tidak perlu dibungkus indah agar diterima. Ia cukup disampaikan dengan niat tulus dan keberanian hati. Karena pada akhirnya, waktu akan menjadi hakim yang adil. Segala yang palsu akan terbongkar, dan yang benar akan tetap berdiri tegak.

Menyampaikan kebenaran memang pahit, tetapi kepahitan itu adalah obat bagi masyarakat yang sedang sakit oleh kebohongan. Sebaliknya, menutupi kebenaran memang tampak manis, namun ia seperti racun yang lambat membunuh kepercayaan, moral, dan keadilan.

Kita membutuhkan lebih banyak orang yang berani berkata benar — di ruang politik, di media, di kantor, bahkan di rumah sendiri. Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang penuh pencitraan, melainkan bangsa yang berani bercermin pada kebenaran, betapapun pahit bayangannya.

Kebenaran tidak diciptakan oleh selera, tetapi oleh nurani yang jujur.
Dan orang yang berani menyampaikan kebenaran, walau pahit, sesungguhnya sedang menanam benih keadilan bagi masa depan yang lebih baik.


Penulis Azhari