Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Jangan Paksakan Kebenaran Bila Itu Salah dari Pimpinan — Perbaikan Demi Kemajuan Bangsa dalam Gagasan

Minggu, 12 Oktober 2025 | 21:17 WIB Last Updated 2025-10-12T14:18:00Z



Dalam kehidupan berbangsa, tidak ada pemimpin yang sempurna. Setiap kebijakan, betapapun baik niatnya, tetap membutuhkan ruang koreksi dan masukan. Namun, yang menjadi persoalan hari ini adalah ketika sebagian orang — atas nama loyalitas, jabatan, atau kepentingan — memaksakan kesalahan pemimpin sebagai kebenaran. Mereka takut berbeda pendapat, enggan menegur, bahkan rela menutup mata demi menjaga “wajah kekuasaan”. Padahal, bangsa tidak akan maju bila kebenaran disesuaikan dengan kehendak pimpinan.

Kebenaran sejati tidak lahir dari kekuasaan, melainkan dari kejujuran dan keberanian berpikir. Pemimpin yang bijak tidak menuntut pembenaran, melainkan membutuhkan kebenaran yang jujur. Sebab, pembenaran hanya melahirkan stagnasi, sedangkan kebenaran membuka jalan bagi perbaikan. Dalam banyak kasus di birokrasi maupun politik, kehancuran sebuah sistem bukan disebabkan oleh pemimpinnya semata, tetapi oleh orang-orang di sekelilingnya yang lebih suka memuji daripada memberi saran.

Bangsa ini butuh pemimpin yang mau mendengar, dan rakyat yang berani berbicara. Hubungan keduanya harus dibangun di atas kejujuran intelektual dan tanggung jawab moral, bukan sekadar kepatuhan buta. Jika setiap kebijakan yang salah selalu dianggap benar demi menjaga citra, maka sesungguhnya yang kita rawat bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran yang tersamar.

Dalam ruang kekuasaan, kebenaran sering kali menjadi korban pertama. Kritik dianggap ancaman, masukan dianggap pemberontakan. Padahal, kritik adalah bentuk kasih sayang terhadap bangsa. Ia adalah cermin yang menunjukkan wajah sebenarnya dari kekuasaan. Tanpa cermin itu, seorang pemimpin akan berjalan dalam gelap, mengira jalannya lurus padahal sedang menuju jurang.

Sejarah dunia mengajarkan bahwa banyak peradaban hancur bukan karena rakyatnya bodoh, melainkan karena pemimpinnya tidak mau dikoreksi. Di sekelilingnya berdiri orang-orang yang hanya berkata “baik”, walau jelas kebijakan itu salah. Mereka menutup kebenaran atas nama loyalitas. Padahal, loyalitas sejati justru terletak pada keberanian mengingatkan pemimpin ketika ia melenceng dari arah kebenaran.

Dalam konteks pembangunan bangsa, perbaikan adalah ruh dari kemajuan. Setiap ide, setiap gagasan, setiap kritik yang lahir dari niat baik harus disambut, bukan dihapus. Tidak ada kemajuan tanpa koreksi, dan tidak ada kebijakan yang sempurna tanpa masukan. Pemimpin yang besar bukan yang merasa selalu benar, tapi yang berani mengakui salah dan memperbaikinya.

Kita juga perlu menumbuhkan budaya berpikir yang terbuka di tengah masyarakat. Jangan sampai rakyat takut berbicara karena khawatir dianggap melawan. Demokrasi kehilangan maknanya jika hanya ada satu suara — suara kekuasaan. Sebaliknya, bangsa akan tumbuh kuat ketika setiap warga diberi ruang menyampaikan gagasan dan kritik tanpa takut dibungkam.

Perbaikan bukanlah bentuk penghinaan terhadap pemimpin, melainkan tanda cinta terhadap bangsa. Pemimpin yang cerdas akan mengubah kritik menjadi arah baru kebijakan. Ia akan memahami bahwa ide-ide besar lahir dari perbedaan pandangan, bukan dari keseragaman kata “ya”. Bangsa yang maju adalah bangsa yang membuka ruang dialog, bukan bangsa yang membungkam perbedaan.

Sudah saatnya kita menata ulang cara berpikir dalam melihat kekuasaan. Pemimpin tidak boleh dipuja seperti dewa yang tak pernah salah, dan rakyat tidak boleh dibungkam seperti budak yang tak boleh bicara. Dalam tata kelola negara yang sehat, pemimpin adalah pelayan rakyat — bukan sebaliknya. Ia diberi amanah untuk membawa bangsa pada kemajuan, bukan untuk mencari pembenaran pribadi.

Jika suatu kebijakan salah arah, maka tanggung jawab moral setiap warga adalah mengingatkan dengan sopan dan berdasar data. Dan tanggung jawab moral seorang pemimpin adalah mau mendengar dan memperbaikinya. Inilah esensi dari kepemimpinan yang berjiwa besar — kepemimpinan yang menjadikan kebenaran sebagai dasar, bukan selera pribadi dan timses 

Kita tidak boleh memaksakan kebenaran bila itu salah, meskipun datang dari orang yang kita hormati. Karena bangsa yang maju tidak dibangun dari pembenaran terhadap kesalahan, tetapi dari keberanian memperbaiki arah demi kemaslahatan bersama.

Pemimpin sejati akan dikenang bukan karena sering dibenarkan,
tetapi karena berani memperbaiki dirinya demi kebenaran.
Dan bangsa yang besar bukanlah bangsa yang selalu memuji pemimpinnya,
melainkan bangsa yang berani menjaga kebenaran — walau itu pahit.


Penulis Azhari