Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Kematian: Titipan Kehidupan dan Persiapan Amal

Minggu, 12 Oktober 2025 | 14:51 WIB Last Updated 2025-10-12T07:52:00Z




Oleh: Azhari

Ada satu kepastian yang tak pernah berubah sejak manusia pertama diciptakan: setiap yang bernyawa pasti akan mati.
Kematian adalah misteri yang tak mengenal jadwal, tak bisa ditunda, dan tak bisa dinegosiasikan. Ia datang tanpa mengetuk pintu, tanpa memberi aba-aba. Ia adalah tamu yang pasti, hanya waktunya saja yang dirahasiakan.

Kita sering membicarakan kehidupan dengan semangat, tetapi jarang berbicara tentang kematian dengan kesadaran. Padahal, di balik setiap napas yang kita hembuskan, ada hitungan waktu yang terus berkurang — menuju perjumpaan terakhir dengan Sang Pencipta.

Kehidupan Adalah Titipan

Kehidupan bukan milik kita. Ia hanyalah titipan sementara yang suatu hari akan diminta kembali.
Kita dilahirkan tanpa membawa apa-apa, dan akan pergi pun tanpa membawa apa pun, selain amal dan kebaikan. Namun manusia, dalam kesibukan dunia, sering kali lupa bahwa semua yang dimiliki — harta, jabatan, keluarga, bahkan tubuh — hanyalah pinjaman yang harus dipertanggungjawabkan.

Ada orang yang hidup seolah-olah dunia ini abadi, seolah waktu akan berhenti menua. Mereka menumpuk kekayaan, memupuk ambisi, dan memperluas kuasa, tanpa menyadari bahwa setiap langkah mendekatkannya pada liang lahat.
Padahal, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

“Orang yang paling cerdas adalah yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati.”
(HR. Ibnu Majah)

Mengapa kematian disebut titipan kehidupan?
Karena setiap hidup yang dijalani adalah bagian dari amanah untuk diuji: apakah manusia mampu menjaga titipan itu dengan kebaikan, atau justru mengotorinya dengan dosa dan kesombongan.

Hidup yang Pendek, Amal yang Panjang

Bila dibandingkan dengan keabadian akhirat, umur manusia hanyalah setitik waktu. Seperti bayangan yang lenyap saat senja tiba. Namun dalam waktu yang singkat itu, manusia diberi kesempatan untuk menanam amal yang hasilnya akan dinikmati selamanya.

Ada orang yang hidup seratus tahun tapi tak meninggalkan jejak kebaikan; dan ada pula yang hidup hanya tiga puluh tahun, namun namanya abadi dalam doa orang banyak. Bukan panjangnya umur yang menentukan nilai kehidupan, tapi apa yang diperbuat di antara dua napas: lahir dan mati.

Setiap amal, sekecil apa pun, akan menjadi saksi di hadapan Allah.
Senyuman yang menenangkan hati orang lain, sedekah yang tulus, ilmu yang bermanfaat, bahkan doa dalam diam — semua akan bernilai kekal.
Sementara kedengkian, kesombongan, dan kezaliman akan menjadi beban yang memberatkan di akhirat nanti.

Di dunia, kita bebas menipu, memfitnah, atau menindas. Tapi di hadapan Tuhan, tak ada ruang untuk berpura-pura.
Setiap lidah akan terkunci, dan anggota tubuhlah yang akan berbicara tentang apa yang pernah dilakukan. Itulah saat ketika kebenaran tak bisa disembunyikan.

Kematian Sebagai Cermin

Kematian tidak hanya menjadi akhir kehidupan, tetapi juga cermin kejujuran diri.
Ketika seseorang meninggal, segala topeng duniawi runtuh. Jabatan, gelar, dan kekuasaan tak lagi berarti. Yang tinggal hanyalah nama baik dan amal yang ditinggalkan.

Kita sering hadir ke pemakaman, mendengar tangisan keluarga, dan membaca doa di tepi liang kubur. Tapi berapa lama kesadaran itu bertahan?
Setelah beberapa hari, kita kembali pada rutinitas, seolah kematian hanyalah berita, bukan peringatan.

Padahal setiap jenazah yang kita antarkan adalah pesan dari Tuhan untuk kita yang masih hidup.
Seakan-akan ia berkata, “Hari ini aku yang pergi, besok mungkin engkau yang menyusul.”
Namun manusia sering kali lebih takut kehilangan dunia daripada kehilangan akhirat.

Kematian adalah pengingat paling jujur bahwa segala sesuatu fana.
Kekayaan bisa hilang, kekuasaan bisa runtuh, bahkan tubuh yang kita rawat dengan mahal pun akan kembali menjadi tanah.
Hanya amal dan doa yang abadi — dan hanya itu yang kelak menjadi teman di alam kubur.

Menyiapkan Amal Sebelum Terlambat

Persiapan terbaik untuk menghadapi kematian bukanlah menimbun harta atau merancang kemewahan pemakaman, melainkan mempersiapkan amal saleh yang tulus.
Karena saat malaikat maut datang, tak ada waktu lagi untuk berjanji atau menyesal.
Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Munafiqun ayat 10:

“Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku akan bersedekah dan termasuk orang-orang yang saleh.”

Namun ayat itu diakhiri dengan teguran: penundaan itu tidak akan pernah datang.
Kematian tidak bisa dinegosiasi.

Maka selama masih ada waktu, gunakanlah hidup untuk berbuat baik.
Jika punya rezeki, sisihkan untuk yang membutuhkan.
Jika punya ilmu, ajarkan kepada yang tak tahu.
Jika punya kuasa, gunakan untuk menegakkan keadilan.
Karena semua itu adalah bekal yang kelak akan menyelamatkan di hadapan Allah.

Amalan yang Menyertai Setelah Mati

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”
(HR. Muslim)

Inilah tiga investasi abadi yang tidak akan hilang ditelan waktu.
Kita bisa mati, tapi pahala terus mengalir selama amal itu memberi manfaat.
Itulah bentuk kehidupan setelah mati yang sejati — ketika kebaikan terus hidup meski jasad telah tiada.

Maka, siapa pun yang hari ini masih diberi kesempatan hidup, sesungguhnya sedang mendapat penangguhan rahmat.
Allah masih memberi waktu agar manusia menata amal, memperbaiki hubungan, dan menebus dosa-dosa masa lalu.

Menghadapi Kematian dengan Tenang

Kematian bukan sesuatu yang harus ditakuti, melainkan sesuatu yang harus disambut dengan kesiapan.
Bagi orang beriman, kematian bukan akhir, melainkan gerbang menuju pertemuan dengan Tuhan.
Ia seperti perjalanan pulang — menuju rumah abadi setelah lelah menempuh dunia.

Namun tentu saja, tidak semua bisa menyambut kematian dengan tenang.
Hanya mereka yang hidupnya dipenuhi kebaikan dan tobat yang tuluslah yang dapat tersenyum saat ajal tiba.
Sebagaimana para salihin yang mengucap,

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai.”
(QS. Al-Fajr: 27–28)

Ketika seseorang sudah menyiapkan amal, maka kematian tak lagi menakutkan. Ia menjadi keindahan yang menutup perjuangan panjang.
Karena yang ditinggalkan bukan kesia-siaan, tetapi warisan kebaikan bagi orang lain.

Penutup: Hidup yang Bernilai karena Kematian

Kematian bukanlah lawan kehidupan — ia justru memberi makna pada kehidupan.
Tanpa kematian, manusia tak akan belajar menghargai waktu, tak akan tahu arti kasih sayang, dan tak akan sadar betapa berharganya satu hari yang masih diberi.

Setiap napas adalah kesempatan untuk memperbaiki diri.
Setiap detik adalah peluang untuk berbuat baik.
Dan setiap senyuman adalah amal kecil yang mungkin menyelamatkan di akhirat.

Maka jangan takut mati — takutlah jika hidup ini tak berarti.
Karena pada akhirnya, kehidupan hanyalah titipan, dan kematian adalah kepulangan.
Yang abadi bukanlah dunia yang kita tinggalkan, melainkan amal yang kita tanam.

“Hidup adalah persiapan menuju mati, dan mati adalah awal kehidupan yang sesungguhnya.”