Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Jabatan dan Pleu manisan pada Rakyat: Wajah Jahat Politik

Minggu, 12 Oktober 2025 | 14:55 WIB Last Updated 2025-10-12T13:59:21Z



Politik di negeri ini sering tampil seperti gula yang manis di lidah, tetapi menyimpan racun di dasar cangkirnya. Setiap menjelang pemilu, rakyat selalu disuguhi janji-janji indah — pembangunan, kesejahteraan, lapangan kerja, dan keadilan sosial. Namun setelah kursi kekuasaan didapat, janji-janji itu menguap seperti asap pagi.

Yang tersisa hanyalah pemanisan kata, bukan kebijakan nyata.

Inilah wajah jahat politik kita hari ini: kekuasaan dijadikan alat mempertahankan diri, bukan alat memperjuangkan nasib rakyat. Jabatan bukan lagi ladang pengabdian, tapi panggung pencitraan.

Politik yang Menjilat ke Atas, Menginjak ke Bawah

Fenomena yang paling menyakitkan dalam politik kita adalah hilangnya nurani kekuasaan.
Banyak pejabat yang pandai berpura-pura rendah hati di hadapan rakyat saat kampanye, namun berubah pongah setelah duduk di kursi jabatan. Mereka tersenyum di baliho, menunduk di podium, tapi menipu di meja kebijakan.
Rakyat hanya dijadikan tangga, bukan tujuan.

Kekuasaan hari ini lebih mirip panggung sandiwara besar. Para aktor politik saling berebut peran — siapa yang paling dramatis, siapa yang paling pandai menangis di depan kamera. Padahal air mata mereka bukan untuk rakyat, tapi untuk rating dan simpati sesaat.

Seorang pemimpin sejati seharusnya melayani dengan hati, bukan dengan janji. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: jabatan dipelihara dengan penjilat, dan rakyat disuguhi pemanis.
Mereka lupa bahwa kekuasaan tanpa moral adalah kebusukan yang dibungkus senyum.

Rakyat Sebagai Umpan, Bukan Tujuan

Dalam sistem politik yang korup, rakyat hanya dianggap sebagai angka — angka suara, angka statistik, angka survei.
Saat butuh dukungan, para elite mendadak turun ke desa, menyapa nelayan, memeluk petani, bahkan ikut makan di warung sederhana. Semua demi membangun citra bahwa mereka “dekat dengan rakyat.”
Namun setelah terpilih, rakyat kembali menjadi penonton dari luar pagar kekuasaan.

Setiap lima tahun, rakyat diingat.
Setiap lima tahun, janji diucapkan.
Setiap lima tahun, kepedulian dipertontonkan.
Lalu setelah itu, sunyi. Tak ada lagi wajah yang menatap ke bawah, hanya kepala yang menengadah ke atas — kepada kepentingan partai, oligarki, dan penguasa yang lebih tinggi.

Inilah politik jahat yang menular seperti virus — yang menjadikan kekuasaan sebagai arena dagang moral, dan rakyat sebagai barang dagangan.
Para politisi memelihara citra lebih daripada membangun karakter. Mereka berlomba jadi terkenal, bukan jadi berguna.

Jabatan Bukan Takhta, Tapi Amanah

Jabatan, dalam pandangan agama dan etika, adalah amanah yang berat. Ia bukan hadiah, tapi ujian.
Namun di negeri ini, jabatan lebih sering dikejar dengan segala cara, bahkan dengan mengorbankan akal sehat dan kehormatan.
Yang salah dianggap benar demi kompromi politik, yang benar dikorbankan demi kelanggengan kekuasaan.

Padahal Rasulullah ﷺ telah bersabda:

“Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah. Dan sesungguhnya jabatan itu di hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang menunaikan hak dan kewajibannya.”
(HR. Muslim)

Tapi siapa yang hari ini masih mengingat hadits itu di tengah politik yang penuh suap, sogok, dan lobi busuk?
Banyak pemimpin yang memulai dengan niat baik, tapi tenggelam dalam godaan kekuasaan. Mereka memaniskan lidah, tapi mengkhianati hati rakyat.
Mereka berjanji menjadi pelindung, tapi justru menjadi pemangsa yang lembut.

Pemanisan yang Membusuk

Salah satu bentuk kejahatan politik paling halus adalah politik pemanis: ketika seorang pemimpin berusaha terlihat baik di depan rakyat, tapi kebijakannya justru menyengsarakan.
Ia berbicara tentang kesejahteraan, tapi menaikkan pajak dan harga.
Ia berpidato tentang keadilan, tapi membiarkan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Ia bicara tentang moral, tapi bergaul dengan koruptor.

Pemanisan ini lebih berbahaya daripada ancaman langsung, karena ia membuat rakyat terlena.
Seperti madu yang disuntik racun — rasanya manis, tapi perlahan mematikan kesadaran publik.

Politik seharusnya menjadi alat untuk memperbaiki keadaan, bukan memperdaya rakyat dengan retorika.
Namun hari ini, terlalu banyak pejabat yang pandai berbicara, tapi miskin bekerja.
Mereka menganggap rakyat bodoh, padahal rakyat hanya sabar. Dan ketika kesabaran itu habis, sejarah telah menunjukkan: kekuasaan tanpa keadilan pasti runtuh.

Politik Jahat Lahir dari Rakyat yang Diam

Politik jahat tidak akan bertahan jika rakyat bersatu menolaknya. Tapi selama rakyat memilih diam, para pemimpin palsu akan terus menari di atas penderitaan.
Mereka akan terus memelihara kebodohan, sebab dari kebodohanlah lahir kekuasaan yang mudah dikendalikan.

Maka politik jahat bukan hanya kesalahan penguasa, tapi juga kelalaian rakyat yang lupa bersuara.
Ketika rakyat membiarkan kebohongan menjadi kebiasaan, maka keadilan pun menjadi kemewahan.
Dan ketika rakyat mulai takut berbicara, maka politik telah berubah menjadi tirani yang dibungkus demokrasi.

Kita tidak butuh pemimpin yang pandai bicara, tapi pemimpin yang berani jujur.
Kita tidak butuh pejabat yang tampil di layar kaca, tapi yang bekerja di bawah cahaya kejujuran.
Rakyat tidak butuh pemanis, rakyat butuh kepedulian nyata.

Saatnya Rakyat Bangun

Sudah terlalu lama rakyat menjadi penonton dalam drama kekuasaan.
Sudah terlalu lama kita diberi harapan yang dihaluskan dengan kata-kata manis.
Kini saatnya kesadaran tumbuh: jabatan tanpa moral adalah bencana; pemimpin tanpa empati adalah kutukan.

Rakyat tidak boleh lagi mudah diperdaya oleh slogan dan baliho.
Sudah saatnya kita menuntut akhlak politik, bukan sekadar janji elektoral.
Kekuasaan harus kembali pada fungsinya: mensejahterakan, melindungi, dan menegakkan keadilan.

Jika tidak, maka sejarah akan berulang — kekuasaan yang menipu akan tumbang, dan pemimpin yang zalim akan hancur oleh tangannya sendiri.
Sebab dalam setiap kezaliman terhadap rakyat, ada murka Tuhan yang menunggu.

Politik yang Menyembah Rakyat

Kita harus mengembalikan makna sejati dari kekuasaan: bahwa jabatan adalah pelayanan, bukan kehormatan.
Seorang pemimpin bukan raja yang disembah, tapi pelayan yang harus bekerja untuk rakyat.
Rakyat bukan alat untuk memenangkan pemilu, tapi amanah yang harus dijaga sampai mati.

Dan bagi siapa pun yang berkuasa hari ini — ingatlah, manisnya jabatan hanyalah sementara, tetapi pahitnya pengkhianatan terhadap rakyat akan kekal di sejarah.
Sebab Tuhan tidak tidur, dan rakyat tidak selamanya diam.

“Tidak akan tegak sebuah negeri jika penguasanya zalim, meski rakyatnya beriman.”