Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Kontrol Sosial Masyarakat terhadap Pemerintah: Bukan Fitnah, tapi Jalan Menuju Perubahan dan Perbaikan

Rabu, 15 Oktober 2025 | 22:15 WIB Last Updated 2025-10-15T15:20:02Z



Dalam sistem demokrasi, rakyat bukan hanya pemilih pada hari pemungutan suara. Rakyat adalah pengawas, penasehat, dan sekaligus pengingat bagi pemerintah yang mereka pilih. Karena kekuasaan, tanpa kontrol sosial, hanya akan menjelma menjadi alat kepentingan segelintir orang. Di sinilah pentingnya kritik dan suara publik: bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk memperbaiki.

Sayangnya, di banyak daerah — termasuk di Aceh — kritik sering kali disalahartikan sebagai serangan, dan suara rakyat dianggap sebagai ancaman bagi kenyamanan pejabat. Padahal, setiap kritik yang lahir dari niat baik adalah tanda masih ada kepedulian terhadap nasib negeri ini. Pemerintah yang anti kritik, sejatinya sedang menutup mata terhadap sumber energi moral rakyat yang bisa mendorong perbaikan.


1. Kritik Bukan Musuh, tapi Cermin untuk Berbenah

Kritik bukanlah fitnah. Kritik adalah cermin, dan hanya pemimpin yang berani bercermin yang bisa melihat kekurangannya. Dalam pandangan Islam, amar makruf nahi munkar adalah bentuk tertinggi dari kontrol sosial. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tanganmu; jika tidak mampu, maka dengan lisanmu; jika tidak mampu juga, maka dengan hatimu — dan itu selemah-lemahnya iman.”

Ayat dan hadis ini menegaskan bahwa umat harus berani menyampaikan kebenaran, bahkan kepada penguasa. Dalam sejarah Islam, banyak khalifah dan sultan besar yang justru meminta rakyatnya untuk menegur bila mereka salah. Umar bin Khattab pernah berkata, “Tidak ada kebaikan dalam diri kalian jika tidak berani menegurku, dan tidak ada kebaikan dalam diriku jika tidak mau mendengarkan kalian.”

Namun, di masa kini, tradisi itu mulai pudar. Banyak pejabat yang mudah tersinggung ketika rakyat mengkritik kebijakan, dan banyak tim sukses yang merasa perlu menjadi “penjaga perasaan” atas nama loyalitas. Padahal, loyalitas sejati kepada pemimpin bukan dengan menutup telinga dari kritik, tetapi dengan membantu pemimpin agar tetap berada di jalan yang benar.


2. Kontrol Sosial sebagai Pilar Demokrasi

Dalam teori politik modern, kontrol sosial rakyat terhadap pemerintah adalah pilar utama demokrasi. Pemerintah mendapatkan kekuasaan dari rakyat, dan karenanya harus siap diawasi oleh rakyat. Pengawasan ini bisa hadir melalui media, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, tokoh agama, hingga warganet di media sosial.

Namun, kontrol sosial bukan sekadar mengomentari atau menyebar isu. Ia harus dibangun di atas etika, data, dan niat tulus untuk memperbaiki. Masyarakat berhak mengkritik, tetapi juga wajib menjaga adab dalam menyampaikan kritik. Sebaliknya, pejabat publik wajib membuka diri terhadap masukan, dan tidak boleh menutup ruang dialog dengan alasan menjaga citra.

Bila ruang kritik ditutup, maka yang tersisa hanyalah pujian palsu. Bila setiap suara rakyat dibungkam, maka rakyat akan kehilangan kepercayaan. Dari sinilah muncul ketegangan sosial yang berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah.


3. Bahaya Pemerintah yang Anti Kritik

Pemerintah yang anti kritik akan kehilangan arah, sebab mereka hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar. Dalam kondisi demikian, rakyat kehilangan hak untuk memperbaiki, dan pejabat kehilangan kemampuan untuk menilai realitas secara objektif.

Kritik yang dibungkam bukan berarti masalah selesai, tetapi justru membuat masalah membusuk di bawah permukaan. Banyak kebijakan gagal bukan karena rakyat tidak mendukung, melainkan karena pejabat enggan mendengar saran yang jujur.

Lebih berbahaya lagi ketika oknum tim sukses atau pengikut pejabat justru bersikap reaktif terhadap kritik. Mereka menyerang balik masyarakat, membungkus kepentingan pribadi dengan slogan loyalitas, bahkan menuduh rakyat yang mengkritik sebagai lawan politik. Ini bukan politik sehat, tapi tanda lemahnya pemahaman akan makna demokrasi.


4. Jalan Tengah antara Kritik dan Fitnah

Memang benar, tidak semua yang mengaku “kritik” layak disebut demikian. Ada yang menyerang pribadi, menyebar hoaks, dan membangun narasi kebencian. Maka di sinilah pentingnya kedewasaan publik — agar kritik tidak bergeser menjadi fitnah.

Kritik yang benar adalah yang menyasar kebijakan, bukan kepribadian. Ia berbasis fakta, bukan perasaan. Ia mengandung solusi, bukan sekadar caci maki. Dan kritik yang baik adalah yang disampaikan dengan adab, tanpa kehilangan ketegasan.

Di sisi lain, pejabat juga harus dewasa dalam menyikapi kritik. Jangan terburu-buru menuduh rakyat menyebar fitnah hanya karena berbeda pandangan. Jangan alergi pada diskusi publik, sebab justru di situlah letak kekuatan demokrasi Aceh yang berakar dari nilai musyawarah dan keadilan sosial.


5. Kritik sebagai Jalan Menuju Perbaikan

Bila kritik dianggap sebagai ancaman, maka pemerintah akan hidup dalam ruang gema, di mana hanya suara yang menyenangkan telinga yang didengar. Padahal, sebuah pemerintahan yang baik bukan yang selalu benar, tetapi yang mau memperbaiki kesalahan dengan rendah hati.

Kritik yang tulus adalah tanda cinta terhadap negeri. Rakyat yang peduli akan berbicara, bukan diam. Mereka ingin melihat pemimpinnya berhasil, bukan jatuh. Maka jangan balas kepedulian itu dengan kebencian.

Dalam tradisi politik Aceh tempo dulu, seorang uleebalang atau pemimpin tidak dianggap kuat karena banyak pengikut, melainkan karena berani menerima teguran dari ulama dan rakyatnya. Nilai-nilai itu seharusnya dihidupkan kembali dalam wajah politik modern Aceh hari ini.


6. Etika Timses dan Loyalitas yang Bijak

Salah satu persoalan serius dalam politik kita adalah sikap sebagian tim sukses atau pengikut pejabat yang terlalu sensitif terhadap kritik. Mereka merasa wajib melindungi citra pemimpin dengan menyerang balik siapa pun yang memberi masukan. Padahal, justru karena kritik itulah pemimpin bisa melihat dari sudut pandang yang lebih luas.

Timses harus memahami bahwa masa kampanye sudah berakhir, dan masa kerja sudah dimulai. Ketika pemimpin sudah menjabat, maka yang utama bukan lagi kepentingan kemenangan, tapi keberhasilan pembangunan dan keadilan sosial.

Loyalitas tanpa logika hanya akan menjerumuskan pemimpin. Sebaliknya, loyalitas yang cerdas dan beretika akan memperkuat wibawa pemerintah di mata rakyat.


7. Pemerintah yang Mau Mendengar adalah Pemerintah yang Kuat

Sejarah menunjukkan, pemimpin besar bukanlah mereka yang tidak pernah dikritik, tetapi mereka yang berani mendengar kritik dan memperbaiki diri. Pemerintah yang terbuka terhadap suara rakyat justru akan lebih dihormati, karena rakyat merasa dilibatkan dalam proses perubahan.

Dalam konteks Aceh, hal ini sangat penting. Setelah masa konflik dan transisi damai, rakyat Aceh ingin melihat pemerintahan yang jujur, terbuka, dan mampu membangun kepercayaan. Masyarakat kini lebih cerdas dan berani bersuara, dan hal itu bukan ancaman, melainkan peluang untuk membangun pemerintahan yang lebih baik.

Pemimpin yang menutup telinga terhadap rakyat, sama dengan menutup jalan menuju keberkahan. Karena doa rakyat yang ridha jauh lebih kuat dari pujian orang-orang dekat.


8. Menuju Budaya Politik yang Dewasa

Kontrol sosial tidak akan berfungsi bila rakyat takut berbicara atau pejabat mudah tersinggung. Maka, budaya politik kita harus naik kelas — dari politik balas dendam menjadi politik dialog; dari politik pencitraan menjadi politik pelayanan.

Kritik bukan bentuk permusuhan, tapi tanda bahwa rakyat masih berharap. Ketika masyarakat sudah tidak mau mengkritik, itu berarti mereka sudah tidak peduli. Dan ketidakpedulian rakyat adalah kehancuran paling sunyi bagi pemerintahan mana pun.

Maka, daripada membungkam suara rakyat, lebih baik merangkul mereka untuk bersama mencari solusi. Pemerintah dan masyarakat harus membangun komunikasi dua arah, bukan monolog sepihak yang hanya memuaskan ego kekuasaan.


Kritik adalah Nafas Demokrasi

Aceh dan Indonesia tidak akan maju jika pemerintahnya anti kritik dan rakyatnya apatis. Demokrasi bukan hanya tentang memilih pemimpin, tapi juga tentang berani mengingatkan pemimpin agar tidak salah jalan.

Maka, jangan jadikan kritik sebagai musuh, karena di sanalah letak cinta yang sesungguhnya terhadap negeri. Kritik adalah tanda hidupnya moral publik. Fitnah mematikan kepercayaan, tapi menolak kritik mematikan perbaikan.

Pemerintah yang bijak tidak akan marah ketika dikritik, tapi akan berterima kasih karena masih ada rakyat yang peduli. Dan rakyat yang bijak tidak akan menghina, tapi mengingatkan dengan santun dan niat tulus.

Karena perubahan tidak lahir dari diam, tapi dari keberanian untuk berbicara — dengan hati, dengan ilmu, dan dengan tanggung jawab.


Penulis Azhari