Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Bila Oknum Timses Masih Baper di Sekitar Bupati, Tunggu-lah Kehancuran

Rabu, 15 Oktober 2025 | 22:28 WIB Last Updated 2025-10-15T15:29:02Z


Oleh: AZHARI 

Di banyak daerah, kemenangan seorang calon kepala daerah berujung pada babak baru: bukan sekadar bekerja untuk rakyat, tetapi mengelola ekspektasi, ambisi, dan tuntutan dari jaringan pendukung yang dulu berjuang di garis depan — tim sukses. Problem muncul ketika sebagian oknum tim sukses (timses) belum mau menerima bahwa masa kampanye berakhir, tetapi terus “baper” — mudah tersinggung, bereaksi berlebihan terhadap masukan publik, dan menekan jalannya pemerintahan agar sesuai selera mereka. Jika perilaku seperti ini dibiarkan, bukan sekadar gangguan kecil; ia bisa menjadi ancaman nyata bagi tata kelola, legitimasi, dan bahkan kelangsungan pemerintahan daerah.

Timses: Dari Pahlawan Menjadi Benalu

Timses memang berperan krusial meraih kemenangan. Namun pengalaman empiris dan tulisan pengamat menunjukkan bahwa timses yang tidak di-manage dengan baik kerap berubah peran — dari pendukung menjadi “benalu politik” yang menguasai akses, menagih upah moral berbentuk posisi atau proyek, dan ikut campur dalam setiap kebijakan publik. Ketika posisi mereka dipertahankan sebagai reward tak proporsional, muncul konflik kepentingan yang merusak proses pemerintahan.

Sensitifitas yang Mematikan: Mengapa 'Baper' Berbahaya

Sikap baper ditandai oleh reaksi emosional berlebihan: menuduh kritik sebagai pengkhianatan, memobilisasi serangan balik di media sosial, atau mempolitisasi setiap masukan teknis sebagai upaya menjatuhkan. Akibatnya:

  • Ruang kritik publik menutup; pejabat takut menerima masukan jujur.
  • Keputusan strategis terganggu karena lebih dikendalikan oleh logika balas budi daripada data dan kepentingan umum.
  • Pelayanan publik menurun karena fokus bergeser dari output layanan ke pengamanan klaim-klaim politik.

Studi tentang konflik dan kepemimpinan lokal memperlihatkan bahwa tingginya konflik antar aktor lokal menghambat pengambilan keputusan yang efektif dan menurunkan kualitas tata kelola publik. Tingginya polarisasi politik lokal juga memperbesar risiko kegagalan kebijakan.

Contoh Nyata: Ketika Timses Memicu Masalah Hukum dan Politik

Kasus-kasus anggota timses yang terseret masalah hukum atau dituduh melakukan praktik tak etis bukanlah isapan jempol. Ada catatan publik tentang penangkapan anggota timses menjelang proses pemilihan ulang, serta kecaman publik terhadap politisasi birokrasi pasca-pilkada. Peristiwa semacam itu tidak hanya mencoreng moral pemerintahan, tetapi juga membuka celah konflik berkepanjangan yang menunda program kerja dan merusak kepercayaan publik.

Demokrasi Butuh Kritik — Bukan Sensor Emosional

Dalam rezim demokratis, kontrol sosial — termasuk kritik yang konstruktif — adalah alat untuk memperbaiki. Memperlakukan kritik sebagai ancaman pribadi sama dengan menutup napas demokrasi itu sendiri. Di sisi lain, rakyat juga wajib berhati-hati agar kritik tidak menjadi fitnah atau kampanye hitam. Jalan tengahnya: kebebasan mengawasi yang dibarengi etika, dan pemerintah yang kuat justru karena mampu merespons kritik, bukan karena menekan pengkritik.

Rekomendasi: Menjauh dari Baper, Menuju Tata Kelola yang Sehat

Untuk menghindari "kehancuran" yang Anda sebut, berikut beberapa langkah praktis yang bisa diambil oleh kepala daerah, birokrasi, dan masyarakat:

  1. Bubar atau Redefinisi Timses Pasca-Kemenangan. Bentuk tim transisi yang jelas tugasnya: membantu serah terima, namun bukan sebagai mesin politik permanen yang mengintervensi kebijakan teknis. Praktik pembubaran atau penataan ulang pasca-pemilu sering dianjurkan agar tidak meninggalkan “benalu” yang mengakar.

  2. Batasan Peran Formal dan Etika. Buat kode etik relawan/timses yang jelas: larangan intervensi pada pengadaan, penempatan jabatan, dan pengambilan keputusan teknis. Jika dilanggar, ada sanksi administratif. Transparansi ini mengurangi peluang konflik kepentingan.

  3. Mekanisme Pengaduan dan Mediasi. Bangun saluran resmi bagi ASN, masyarakat, dan civil society untuk melaporkan tekanan atau intervensi politik. Selanjutnya, gunakan mekanisme mediasi—karena penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan konflik yang baik meningkatkan kinerja pemerintahan lokal.

  4. Kultur Kepemimpinan yang Dewasa. Pemimpin mesti menunjukkan keteladanan: terbuka terhadap kritik, tidak melakukan balas dendam politik, dan memprioritaskan kepentingan publik di atas klaim balas jasa timses. Kekuatan pemimpin terlihat dari kemampuannya mengelola perbedaan, bukan menutupinya.

  5. Pendidikan Politik bagi Publik dan Timses. Sosialisasi soal etika publik, anti-korupsi, dan tata kelola yang baik penting agar timses memahami batasan peran mereka. Pendidikan semacam ini meminimalkan kecenderungan “baper” karena mereka mengerti fungsi dan batas wewenang yang sehat.

Jika Dibiarkan: Jalan Menuju Erosi Legitimasi

Kalau langkah-langkah pencegahan tidak diambil, efek kumulatifnya tidak ringan: proyek terhenti karena konflik internal; program publik diganggu oleh politisasi; kepercayaan rakyat menurun drastis; sampai akhirnya muncul tuntutan politik yang menuntut akuntabilitas atau bahkan gelombang protes yang berujung pada krisis legitimasi. Kata kunci di sini adalah: legitimasi. Tanpa kepercayaan publik, pemerintahan kehilangan energi untuk berbuat.

 Tegas pada Prinsip, Lembut pada Rasa

Pesan ini bukan seruan untuk memusnahkan relawan yang pernah berjasa, melainkan panggilan untuk menata peran agar jasa tidak berubah menjadi racun. Hargai pengorbanan timses — tetapi jangan biarkan loyalitas mengalahkan hukum, etika, dan kepentingan rakyat. Kepala daerah yang bijak akan memimpin dengan kepala dingin, bukan atas desakan hati yang mudah tersinggung.

Jika masih ada oknum timses yang terus “baper”, terus menekan, dan mempolitisasi setiap masukan rakyat — siap-siaplah melihat bagaimana fondasi pemerintahan goyah. Dan bila fondasi goyah, kehancuran bukan sekadar retorika: ia menjadi kemungkinan yang nyata.