Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Kunci Selingkuh Ada pada Respon, Bukan Godaan: Refleksi Psikologis, Hukum, dan Moral dalam Keluarga

Minggu, 26 Oktober 2025 | 22:44 WIB Last Updated 2025-10-26T15:46:25Z




Antara godaan dan kesadaran

Dalam setiap rumah tangga, kesetiaan adalah fondasi yang menjaga cinta tetap hidup. Namun di tengah derasnya arus komunikasi digital dan gaya hidup modern, kesetiaan sering kali diuji oleh godaan yang datang tanpa diundang. Perselingkuhan, yang dulu identik dengan pertemuan rahasia, kini bisa lahir dari pesan singkat, komentar di media sosial, atau sekadar “curhat” ringan di dunia maya.

Sering terdengar ungkapan, “Laki-laki itu penggoda, tapi kunci selingkuh ada pada wanita.” Kalimat ini mengandung makna sosial dan psikologis yang dalam: godaan bisa datang dari mana saja, tetapi respon terhadap godaanlah yang menentukan arah sebuah hubungan. Sebagaimana pintu yang hanya terbuka bila ada yang memutar kuncinya, begitu pula perselingkuhan hanya terjadi bila ada respon yang membuka ruang bagi pengkhianatan itu tumbuh.


1. Ketika godaan hanya menjadi ujian, bukan jalan

Dalam kehidupan sosial, godaan adalah bagian dari dinamika manusia. Namun, yang membuat perbedaan besar adalah bagaimana seseorang menanggapinya.
Setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki potensi untuk tergoda. Tetapi tidak semua godaan berakhir dengan perselingkuhan — hanya mereka yang membiarkan diri hanyut dalam respon emosional yang salah.

Sosiolog keluarga menyebutkan bahwa perselingkuhan tidak pernah berdiri sendiri. Ia adalah hasil dari dua pihak yang sama-sama membuka ruang emosional, bahkan bila awalnya tanpa niat. Wanita sering kali menjadi penentu arah, karena secara sosial dan emosional, ia memegang peran besar dalam menjaga keutuhan hubungan.

Namun penting juga disadari bahwa ungkapan “kunci selingkuh ada pada wanita” bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk menegaskan tanggung jawab moral: bahwa cinta sejati hanya bisa dijaga oleh kesadaran, bukan sekadar janji.


2. Dari ruang hati ke ruang chat: selingkuh digital dan batas kesetiaan

Dunia digital membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi. Hubungan yang dulu dibangun lewat tatap muka kini bisa tumbuh dari layar ponsel. Satu sapaan, satu emoji, atau satu pesan sederhana dapat membuka ruang kedekatan emosional yang berbahaya.

Fenomena ini disebut oleh para psikolog sebagai emotional cheating — perselingkuhan emosional yang belum tentu berujung fisik, tapi sama-sama melukai.
Perselingkuhan jenis ini sering kali dimulai dari percakapan ringan antara dua orang yang saling merasa “nyambung”. Mereka berbagi cerita, keluh kesah, bahkan rahasia, hingga perlahan tumbuh rasa yang menggantikan fungsi pasangan di rumah.

Dalam konteks ini, wanita berperan penting sebagai pengendali emosi dan moral. Ia bisa menghentikan kedekatan yang salah sejak awal dengan tidak memberi ruang, atau sebaliknya, membiarkan hubungan itu tumbuh dengan dalih “sekadar teman bicara”.

Hati manusia ibarat taman; jika tidak dijaga, rumput liar bisa tumbuh tanpa disadari. Dan dalam rumah tangga, rumput liar itu bernama selingkuh — tumbuh perlahan, tapi mampu merusak seluruh keindahan yang sudah dibangun bersama.


3. Faktor sosial dan psikologis di balik perselingkuhan

Tidak semua perselingkuhan lahir dari niat jahat. Banyak yang bermula dari kekosongan emosional: kurang perhatian, komunikasi yang kaku, atau perasaan tidak dihargai oleh pasangan. Dalam situasi itu, seseorang menjadi rentan terhadap perhatian dari luar.

Namun, rasa kekurangan bukan pembenaran untuk mengkhianati. Psikologi keluarga menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan rekonsiliasi emosional sebagai jalan keluar dari ketegangan rumah tangga. Sebab jika luka batin tidak diobati, seseorang akan mencari pelipur di tempat yang salah.

Sosiologi keluarga juga menyoroti adanya perubahan nilai-nilai moral akibat gaya hidup modern. Di tengah masyarakat konsumtif dan individualistik, kesetiaan sering digantikan oleh kepuasan instan. Hubungan menjadi transaksional, dan cinta kehilangan makna spiritualnya.

Di sinilah pentingnya kesadaran moral: memahami bahwa rumah tangga bukan sekadar kontrak sosial, melainkan ikatan spiritual yang dijaga oleh tanggung jawab dua hati.


4. Perspektif hukum: perselingkuhan dan akibatnya

Dalam hukum Indonesia, perselingkuhan memiliki konsekuensi serius. Berdasarkan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan zina yang dilakukan oleh seseorang yang telah menikah dapat dijatuhi pidana. Sementara dalam konteks Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 39 dan 40 menegaskan bahwa pengkhianatan terhadap pasangan merupakan alasan sah untuk perceraian.

Namun, hukum tidak hanya berbicara soal pidana atau cerai. Di baliknya, ada nilai moral yang dijunjung tinggi: kesetiaan sebagai amanah. Janji pernikahan bukan sekadar kontrak administratif, tapi perjanjian suci antara dua insan di bawah saksi Tuhan.

Dalam masyarakat Aceh, misalnya, pelanggaran moral seperti perselingkuhan tidak hanya berdampak hukum, tetapi juga sanksi sosial dan adat. Citra keluarga rusak, nama baik hancur, dan kehormatan sulit dipulihkan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tatanan sosial kita, kesetiaan bukan hanya urusan pribadi, tetapi nilai kolektif yang menjaga martabat masyarakat.


5. Perspektif agama: kesetiaan sebagai ibadah

Dalam Islam, pernikahan disebut sebagai mitsaqan ghalizha — perjanjian yang kuat dan sakral. Maka, setiap bentuk pengkhianatan terhadap pasangan adalah bentuk pengkhianatan terhadap janji di hadapan Allah.

Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik daripada mengkhianati amanah.”

Selingkuh bukan sekadar dosa sosial, melainkan juga dosa spiritual. Ia merusak bukan hanya kepercayaan manusia, tapi juga hubungan seseorang dengan Tuhannya.

Karena itu, dalam ajaran Islam, wanita dan laki-laki sama-sama memiliki tanggung jawab untuk menjaga pandangan, hati, dan kehormatan diri.
Allah berfirman dalam QS. An-Nur ayat 30-31 agar laki-laki dan perempuan menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka, karena dari sanalah fitnah bermula.

Selingkuh dimulai dari pandangan yang tidak dijaga, berlanjut ke respon yang tidak dikendalikan, lalu berakhir dengan tindakan yang menyesal. Maka, menjaga diri bukan sekadar kewajiban, tetapi bentuk kesadaran spiritual.


6. Peran wanita: dari penjaga cinta hingga pengatur keseimbangan

Wanita, dalam rumah tangga, memegang peran penting sebagai penjaga keseimbangan emosi. Ia bukan hanya istri, tapi juga ibu, sahabat, dan tempat pulang bagi suaminya. Maka ketika ia tergoda untuk memberi respon pada godaan dari luar, itu bukan hanya soal pribadi, tetapi soal tanggung jawab terhadap seluruh sistem keluarga.

Seorang wanita yang mampu menolak godaan sejatinya bukan karena tidak bisa, tetapi karena tahu nilai dirinya. Ia sadar bahwa setiap responnya membawa konsekuensi besar — pada keutuhan rumah, pada hati anak-anak, bahkan pada pandangan masyarakat.

Ungkapan “kunci selingkuh ada pada wanita” menjadi pengingat bahwa di tangan wanitalah kehormatan keluarga disimpan. Namun tentu saja, suami juga harus memahami perannya. Tidak adil bila seluruh beban moral hanya diletakkan di pundak istri. Suami pun wajib menjaga diri, memberi perhatian, dan memperbaiki komunikasi agar cinta tidak mencari ruang di luar rumah.


7. Perspektif sosiologi hukum: selingkuh sebagai gejala sosial

Dari sudut pandang sosiologi hukum, perselingkuhan dapat dilihat sebagai gejala sosial akibat lemahnya kontrol sosial dan nilai moral dalam masyarakat. Ketika norma agama dan adat mulai kehilangan kekuatan mengikat, individu merasa lebih bebas mengikuti keinginan pribadi tanpa memikirkan akibat hukum atau sosial.

Masyarakat modern cenderung memberi pembenaran terhadap perilaku selingkuh dengan alasan “hak pribadi”, “kebebasan memilih”, atau “ketidakcocokan emosional”. Namun jika perilaku ini dibiarkan, maka tatanan sosial yang berbasis pada keluarga akan rapuh. Hukum pun menjadi tidak cukup kuat bila nilai moral masyarakat sudah longgar.

Karena itu, sosiologi hukum menekankan pentingnya revitalisasi norma keluarga, baik melalui pendidikan, agama, maupun kebijakan publik. Hukum negara hanya bisa menindak, tapi nilai sosial dan kesadaran moral-lah yang bisa mencegah.


8. Menyembuhkan luka setelah pengkhianatan

Ketika perselingkuhan terjadi, luka yang ditinggalkan bukan hanya pada pasangan, tapi juga pada anak-anak dan keluarga besar. Rasa malu, kecewa, dan kehilangan kepercayaan sering kali membuat hubungan sulit diperbaiki.

Namun masih ada jalan: rekonsiliasi.
Psikolog keluarga menyarankan tiga langkah penting:

  1. Mengakui kesalahan secara jujur dan terbuka.
    Tidak ada penyembuhan tanpa pengakuan.
  2. Membangun komunikasi yang sehat dan terarah.
    Hentikan saling menyalahkan, fokus pada perbaikan.
  3. Melibatkan nilai spiritual dan bimbingan moral.
    Doa, bimbingan rohani, dan konseling keluarga menjadi kunci penyembuhan batin.

Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi memilih untuk tidak terus menyakiti diri dengan kenangan. Sebab cinta sejati bukan hanya tentang memiliki, tapi juga tentang memperbaiki yang rusak dengan kesabaran.


9. Penutup: Menjaga kesetiaan di zaman yang menguji

Zaman boleh berubah, tapi nilai kesetiaan tidak pernah usang.
Selingkuh memang bisa tampak indah di awal, tapi selalu berakhir dengan duka.
Tidak ada hubungan yang benar jika dibangun dari kebohongan.

Maka, siapa pun kita — suami, istri, atau calon pasangan — perlu menanamkan satu prinsip:
Setiap respon adalah pilihan, dan setiap pilihan adalah tanggung jawab.

Sebab godaan tidak bisa dihindari, tapi respon bisa dikendalikan.
Dan dari situlah kesetiaan diuji — bukan di hadapan orang lain, tapi di dalam hati sendiri.

Kunci selingkuh memang bisa dipegang siapa saja, tapi hanya orang yang memiliki iman dan kesadaran diri yang mampu tidak memutarnya. Karena sejatinya, menjaga kesetiaan bukan sekadar menolak godaan, melainkan menghormati cinta yang telah diamanahkan Tuhan.