Pernikahan adalah janji suci, bukan sekadar ikatan formal di hadapan manusia, tetapi juga perjanjian dengan Allah. Ia diikat dengan akad, dilandasi dengan cinta, dan ditopang oleh tanggung jawab. Namun dalam kenyataan, tidak sedikit perempuan yang menanggung luka batin karena pengkhianatan suami.
Istri sering kali tampil kuat di permukaan. Ia tersenyum demi anak-anak, tetap melayani rumah tangga, tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu. Tetapi jauh di dalam hati, ada luka yang dalam. Luka yang lahir dari pengkhianatan, luka yang sulit diucapkan. Luka yang bahkan sering dianggap wajar oleh masyarakat, karena seakan-akan sabar adalah takdir perempuan, sementara pelampiasan dianggap hak laki-laki.
Inilah ironi yang harus kita bongkar: di satu sisi, sabar adalah keutamaan. Namun di sisi lain, sabar yang dipahami secara salah sering berubah menjadi alat legitimasi bagi suami untuk berkhianat.
Luka yang Tak Kasatmata
Ketika seorang suami mengkhianati istrinya, yang terluka bukan hanya hati, tetapi juga harga diri, martabat, dan kepercayaan. Luka ini sering tidak terlihat, karena istri berusaha menutupinya. Tetapi luka batin lebih berbahaya daripada luka fisik.
Istri bisa saja tetap tersenyum, tetap memasak, tetap mengurus anak-anak. Tetapi setiap kali suaminya pulang dengan wajah yang penuh rahasia, hatinya kembali tercabik. Ia tidur dengan mata terbuka, menangis tanpa suara. Dan yang paling menyakitkan, tidak ada tempat yang aman untuk meluapkan luka itu, karena masyarakat sering menuntutnya untuk tetap sabar.
Padahal, pengkhianatan bukan sekadar perselingkuhan fisik. Ia adalah pengkhianatan terhadap janji, terhadap kepercayaan, dan terhadap kesucian akad nikah.
Sabar: Antara Iman dan Luka yang Dipelihara
Sabar adalah salah satu keutamaan terbesar dalam Islam. Istri yang sabar adalah istri yang kuat. Namun sabar tidak boleh dipahami sebagai bentuk pembiaran. Sabar bukan berarti membiarkan diri diinjak-injak, sabar bukan berarti menutup mata terhadap pengkhianatan, sabar bukan berarti rela harga diri dipermainkan.
Sabar sejati adalah sabar yang aktif, sabar yang disertai ikhtiar untuk menegakkan kebenaran. Jika suami bersalah, maka ia harus ditegur. Jika suami berkhianat, maka ia harus diminta bertanggung jawab. Kesabaran yang benar adalah kesabaran yang menuntut perubahan, bukan kesabaran yang hanya menambah luka.
Sayangnya, di banyak budaya, sabar justru sering dijadikan alat untuk menekan perempuan. Istri dikhianati, dinasihati untuk sabar. Istri diperlakukan kasar, disuruh sabar. Padahal, suami yang berkhianatlah yang harusnya diingatkan, bukan istri yang terus dipaksa menanggung derita.
Pengkhianatan: Nafsu yang Disamarkan
Suami yang berkhianat sering menyamarkan nafsunya dengan berbagai alasan. Ada yang mengatakan istri sudah berubah, tidak lagi memperhatikan. Ada yang berdalih kebutuhan biologis tidak terpenuhi. Bahkan ada yang menjadikan dalil poligami sebagai pembenaran.
Tetapi mari kita jujur: berapa banyak poligami dilakukan dengan tanggung jawab? Berapa banyak suami yang benar-benar adil, lahir dan batin, sebagaimana syariat menuntut? Jika poligami hanya dijadikan legitimasi untuk pelampiasan, maka ia bukan ibadah, melainkan pengkhianatan yang dibungkus agama.
Allah menegaskan dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa: 129):
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian."
Ayat ini adalah peringatan keras. Jika keadilan tidak bisa ditegakkan, maka poligami bisa berubah menjadi kezaliman. Dan kezaliman terbesar adalah melukai hati istri yang setia.
Tanggung Jawab Suami: Lebih dari Sekadar Nafkah
Tanggung jawab suami tidak berhenti pada memberi nafkah. Nafkah memang kewajiban, tetapi bukan satu-satunya ukuran. Suami juga bertanggung jawab menjaga hati istrinya, menghargai perasaannya, dan melindungi martabatnya.
Istri bukan hanya butuh makan dan tempat tinggal. Ia butuh rasa aman, butuh kasih sayang, butuh kesetiaan. Jika semua itu diabaikan, maka betapapun banyak harta yang diberikan, ia tetap merasa miskin dalam cinta.
Rasulullah SAW adalah teladan terbesar. Beliau tidak hanya memberi nafkah kepada para istrinya, tetapi juga melayani, bercanda, mendengarkan, dan menghormati mereka. Bahkan beliau pernah berkata: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” (HR. Tirmidzi).
Maka, ukuran kebaikan seorang suami bukanlah status sosialnya, bukan pula keberhasilannya di mata orang lain. Ukuran itu adalah bagaimana ia memperlakukan istrinya di dalam rumah.
Antara Bertahan dan Melepaskan
Di titik inilah, banyak istri terjebak dalam dilema. Apakah ia harus bertahan demi anak-anak, atau melepaskan demi harga diri?
Yang bertahan, menanggung luka setiap hari. Ia tetap tersenyum, tetapi hatinya terus menangis. Yang melepaskan, sering kali mendapat stigma dari masyarakat: dicap sebagai istri yang tidak sabar, dianggap tidak mampu menjaga rumah tangga. Padahal, penyebabnya adalah pengkhianatan suami.
Masyarakat harus berhenti menormalisasi pengkhianatan. Jangan lagi menyalahkan istri yang terluka, jangan lagi menuntut perempuan untuk sabar tanpa batas, sementara suami dibiarkan melanggar janji sesuka hati.
Luka yang Menurun pada Anak
Pengkhianatan tidak hanya melukai istri, tetapi juga merusak anak-anak. Anak yang tumbuh di rumah penuh pengkhianatan sering kali kehilangan kepercayaan pada cinta, bahkan trauma terhadap pernikahan. Mereka mendengar ibunya menangis, melihat ayahnya berbohong, dan akhirnya membawa luka itu ke masa depan.
Generasi yang tumbuh dengan luka batin akan lebih rapuh, lebih mudah mengulang pola yang sama, atau bahkan lebih sulit membangun keluarga yang sehat. Artinya, pengkhianatan bukan hanya dosa pribadi, melainkan juga dosa sosial, karena merusak generasi.
Luka Istri adalah Tanggung Jawab Suami
Luka istri akibat pengkhianatan suami adalah luka yang dalam. Ia bukan hanya soal perasaan, tetapi juga soal tanggung jawab, soal janji, soal harga diri, dan soal iman.
Sabar memang indah, tetapi sabar tidak boleh menjadi alasan bagi suami untuk terus melukai. Pengkhianatan bukan hak, bukan pula takdir, tetapi pilihan yang membawa dosa.
Suami yang bijak akan menjaga istrinya, menghargai kesetiaannya, dan menunaikan tanggung jawabnya dengan penuh cinta. Karena sebelum seorang suami mempertanggungjawabkan keberhasilannya di hadapan manusia, ia akan mempertanggungjawabkan bagaimana ia memperlakukan istrinya di hadapan Allah.
Maka, wahai para suami: jangan biarkan sabar istri berubah menjadi luka yang tak tersembuhkan. Jangan jadikan pengkhianatan sebagai pelampiasan. Jadilah pemimpin keluarga yang menjaga, bukan yang melukai. Karena luka istri adalah luka keluarga, dan luka keluarga adalah luka generasi.Semoga bermanfaat nasehat ini
Penulis Azhari