Opini Politik oleh Azhari
Setiap kali pesta demokrasi tiba, rakyat Indonesia kembali dihadapkan pada pertanyaan klasik namun menyakitkan: Apakah pemilu kali ini benar-benar adil? Pertanyaan itu bukan sekadar kegelisahan moral, melainkan refleksi dari luka panjang bangsa yang telah terlalu sering melihat kecurangan, politik uang, dan manipulasi suara rakyat dijadikan permainan elit.
Pemilu sejatinya adalah momentum suci dalam demokrasi. Ia menjadi sarana rakyat untuk memilih pemimpin terbaik, bukan terhebat dalam berjanji atau terkaya dalam menebar amplop. Namun, dalam kenyataan yang kian pahit, nilai-nilai keadilan dan kejujuran dalam pemilu justru kerap ditukar dengan pragmatisme dan kepentingan jangka pendek. Politik uang menjadi racun yang membius nurani rakyat, sementara aparat penyelenggara kadang terjebak dalam tekanan politik dan kepentingan oligarki.
Kita seolah hidup di antara dua kenyataan: idealisme demokrasi di atas kertas dan praktik politik transaksional di lapangan. Demokrasi yang mestinya menjadi jalan menuju kesejahteraan justru berubah menjadi ladang perebutan kekuasaan tanpa etika. Janji-janji politik dijajakan seperti barang dagangan musiman, lalu dilupakan begitu kursi kekuasaan diraih.
Rakyat, yang mestinya menjadi subjek utama dalam pemilu, justru sering menjadi korban. Mereka diiming-imingi dengan seratus ribu rupiah atau sembako, lalu suaranya dianggap lunas. Padahal, satu suara yang dijual adalah masa depan lima tahun yang dikorbankan. Itulah sebabnya, menanti pemilu yang berkeadilan bukan hanya menanti sistem yang sempurna, tetapi juga menanti kesadaran moral dari seluruh lapisan bangsa — dari penyelenggara hingga pemilihnya.
Keadilan dalam pemilu tidak lahir dari aturan semata, tetapi dari integritas manusia yang menjalankannya. Kita butuh penyelenggara yang netral, pengawas yang berani, aparat yang tegas, dan rakyat yang cerdas. Sebab demokrasi yang sehat tidak lahir dari janji politik, melainkan dari keberanian rakyat menjaga suaranya.
Menanti mimpi pemilu yang berkeadilan berarti menanti kebangkitan nurani bangsa. Saat rakyat memilih bukan karena uang, tetapi karena keyakinan akan masa depan. Saat calon pemimpin berkompetisi bukan dengan tipu daya, tetapi dengan gagasan dan keteladanan. Dan saat kekuasaan kembali dimaknai sebagai amanah, bukan alat memperkaya diri dan kelompok.
Barangkali mimpi itu belum sepenuhnya menjadi nyata. Tapi selama masih ada rakyat yang berani menolak politik uang, mahasiswa yang kritis terhadap penyimpangan, dan jurnalis yang berani membongkar kecurangan — maka mimpi itu belum mati.
Keadilan dalam pemilu adalah cermin martabat bangsa. Dan bangsa yang kehilangan keadilan dalam memilih pemimpinnya, perlahan kehilangan arah dalam menata masa depannya. Maka, biarlah kita terus menanti, sambil berjuang agar mimpi itu bukan sekadar slogan, tetapi kenyataan dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
— Azhari