Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Refleksi Pemilu dan Gagasan Pemikiran Pemilu yang Adil

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 22:43 WIB Last Updated 2025-10-18T15:43:14Z


Opini Politik oleh Azhari

Pemilu adalah puncak dari kedaulatan rakyat, momen ketika suara terbanyak seharusnya menjadi cermin kehendak rakyat, bukan hasil rekayasa kekuasaan. Namun, setiap kali pesta demokrasi digelar, pertanyaan yang sama selalu muncul: apakah pemilu kita sungguh-sungguh adil? Atau hanya sekadar formalitas politik lima tahunan yang meninabobokkan rakyat dengan janji-janji kosong?

Refleksi atas perjalanan demokrasi Indonesia menunjukkan bahwa persoalan keadilan dalam pemilu bukan hanya soal teknis, tetapi menyangkut persoalan moral dan sistemik. Politik uang, manipulasi suara, penggunaan aparatur negara untuk kepentingan politik, hingga kecurangan dalam rekapitulasi suara adalah gejala yang berulang dari satu periode ke periode berikutnya. Semua ini menunjukkan bahwa demokrasi kita belum benar-benar berakar pada kesadaran etis, melainkan masih tersandera oleh pragmatisme kekuasaan.

Padahal, keadilan dalam pemilu adalah fondasi utama dari legitimasi politik. Tanpa keadilan, pemilu hanyalah ritual, bukan refleksi kehendak rakyat. Tanpa integritas penyelenggara, suara rakyat hanyalah formalitas di atas kertas. Dan tanpa kesadaran rakyat untuk menjaga suaranya, demokrasi akan terus menjadi panggung sandiwara yang dimainkan oleh segelintir elit.

Dalam refleksi ini, kita harus jujur mengakui bahwa pemilu belum mampu menciptakan ruang politik yang bersih. Banyak kandidat menang bukan karena visi dan gagasan, tetapi karena kekuatan modal dan jaringan kekuasaan. Uang seolah menjadi bahasa politik paling efektif, sementara moralitas politik dianggap barang langka.

Oleh karena itu, gagasan menuju pemilu yang adil tidak boleh berhenti pada wacana normatif. Harus ada langkah konkret yang menyentuh tiga aspek utama: etika politik, reformasi sistem pemilu, dan pendidikan demokrasi rakyat.

Pertama, etika politik harus menjadi pijakan utama bagi setiap kandidat dan partai politik. Seorang pemimpin tidak hanya dinilai dari seberapa banyak suara yang ia raih, tetapi seberapa jujur dan bersih cara ia meraihnya. Partai politik harus didorong untuk menjadi wadah pembinaan moral, bukan sekadar kendaraan elektoral.

Kedua, reformasi sistem pemilu menjadi keharusan. Penegakan hukum terhadap pelanggaran pemilu harus diperkuat, termasuk sanksi tegas bagi pelaku politik uang, pelanggaran netralitas ASN, dan manipulasi data suara. Lembaga penyelenggara harus dijaga dari intervensi politik agar keadilan tidak hanya menjadi slogan, tetapi kenyataan yang terukur.

Ketiga, pendidikan demokrasi rakyat harus menjadi agenda jangka panjang. Rakyat harus dididik untuk menjadi pemilih yang sadar, bukan pemilih yang mudah dibeli. Demokrasi sejati hanya lahir ketika rakyat memahami arti suaranya, bahwa satu pilihan bukan sekadar hak, tetapi tanggung jawab moral terhadap masa depan bangsa.

Pemilu yang adil tidak akan tercipta hanya dengan undang-undang yang baik, tetapi dengan manusia yang berintegritas. Kita butuh generasi pemimpin baru yang memahami bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat memperkaya diri dan kelompok.

Refleksi pemilu harus mengantarkan kita pada kesadaran baru: bahwa demokrasi bukan hanya tentang menang atau kalah, tetapi tentang menjaga kepercayaan rakyat. Jika rakyat terus kecewa, jika suara mereka terus dikhianati, maka demokrasi akan kehilangan makna.

Menatap masa depan, kita perlu membangun gagasan besar: “Pemilu sebagai ruang peradaban,” bukan sekadar kompetisi politik. Sebuah ruang di mana gagasan bertarung dengan gagasan, moral bertemu dengan moral, dan rakyat berdiri sebagai penentu arah bangsa dengan kepala tegak, bukan karena amplop, tetapi karena nurani.

Karena keadilan dalam pemilu bukan hanya mimpi, tetapi cita-cita yang harus diperjuangkan bersama — dengan kesadaran, keberanian, dan kejujuran.

— Azhari
Pemerhati Politik dan Sosial Aceh